Kala liburan di desa berketepatan dengan musim panen, sering anak-anak ikut dengan para ibu dari desa menuai padi menggunakan "etem" (ani-ani) atau ada yang menyebutnya dengan ketam, alat pemotong padi tradisional yang digenggam ditangan. Ani-ani ini merupakan pisau kecil bertangkai bambu yang diselipkan dicelah tangan antara jari manis dan jari tengah. Waktu menggunakannya kedua jari yaitu jari tengah dan telunjuk digerakkan untuk meraih batang padi dan ibu jari menekannya pada mata pisau pada ani-ani untuk memotongnya.
Dengan ani-ani ini tangkai bulir padi dipotong satu-satu, meskipun banyak memakan pekerjaan dan waktu tetapi bagi ibu-ibu bahkan orang yang melihat merupakan keasikan tersendiri pada masa itu. Selain itu ada keuntungannya, karena dipotong satu-satu maka bulir padi yang dipotong dipilih yang sudah masak. Dengan demikian bulir padi yang belum masak tidak terpotong dapat ditunggu hingga masakat Sunda di daerah Jawa Barat. Berbeda dengan sekarang memotong padi menggunakan arit atau celurit, semua bulir padi baik yang masak maupun yang muda habis terpotong.
Ada kepercayaan dalam masyarakat Sunda di daerah Jawa Barat. Masyarakat percaya bahwa padi merupakan perwujudan dewi padi yang disebut Nyai Pohaci Sanghiyang Sri yang berjiwa halus dan lembut. Karena itu harus diperlakukan dengan hormat dan santun tidak boleh dibabat secara kasar. Acara memotong padipun dilakukan dalam acara yang disebut "Seren Taun" Ani-ani atau ketam adalah sebuah pisau kecil yang dipakai untuk memanen padi. Dengan ani-ani tangkai bulir padi dipotong satu-satu, sehingga proses ini memakan banyak pekerjaan dan waktu, namun keuntungannya ialah, berbeda dengan penggunaan sebuah clurit atau arit, tidak semua batang ikut terpotong. Dengan demikian, bulir yang belum masak tidak ikut terpotong.
Ibu-ibu yang turun ke sawah ikut memanen padi, begitu cekatan dan terampil menggunakan alat pemotong padi tradisional. Tangan-tangan mereka dengan cepat menggerakkan "ani-ani" menggunakan alat itu mengiris batang padi. Hasil panen yang dikumpulkan, kemudian diserahkan kepada pemilik sawah, dan hasilnya dibagi oleh pemilik sawah sedangkan penuai mendapat bagian bagi hasil tuaiannya. Ini merupakan hak penuai yang bisa dibawa pulang sehingga tersedia bahan makanan di rumah tangga. Sepulang dari menuai padi ini sering pula ibu-ibu ini membawa pulang sayuran seperti kacang Panjang atau kecipir yang ditanam sepanjang pematang sawah untuk dijadikan sayur di rumah.
Sistem sosial ini, nampaknya mendukung ketahan pangan dalam rumah tangga (Household food security). Di rumah ada cadangan bahan makanan, di luar rumah tersedia sumber protein, mineral dan vitamin alami yang setiap saat bisa dikonsumsi oleh anak-anak sehingga mendapat pasokan karbo hidrat, protein dan mineral yang disediakan alam sekitar. Kehidupan rukun dengan prinsip gotong royong, saling tolong menolong yang menjadi ciri khas warga desa di zaman dulu, nampaknya semakin terkikis sedikit demi sedikit di zaman serba moderen ini. Sebagian besar tergantikan oleh kegiatan berbasis bisnis yang dinilai dengan uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H