Lihat ke Halaman Asli

Pelayanan Prima Menghalau Kemiskinan

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Pemerintah yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperoleh legitimasi dan kepercayaan dari rakyat. 60 persen lebih konstituen memilih mereka ketika pemilu 2004 lalu. Tahun 2009 jumlah pendukunnya pun 60 persen. Rakyat berharap pemerintah memberikan perhatian membasmi kemiskinan dengan pelayanan prima. Apakah angka-angka tersebut dibiarkan diam? Kemungkinan iya, karena rakyat miskin makin terpuruk. Kepercayaan kepada pemerintahan SBY terus merosot. Tapi kepercayaan masih bisa diperbaiki. Pemerintah harus bangkit, memberikan pelayanan prima kepada rakyat, ini obatnya yang mujarab.

Birokrasi Negara (pegawai negeri, sipil dan TNI/Polri) sangat akrab dengan pelayanan prima, artinya memberi layanan kepada publik/rakyat agar rakyat puas. Singkat kata, mari kita melaksanakan program pemerintah untuk memerangi kemiskinan agar dilaksanakan dengan baik dan jujur. Agar rakyat miskin bisa membeli beras dengan harga terjangkau. Tidak seperti sekarang. Rakyat makan nasih aking karena tidak mampu membeli beras. Rakyat makan singkong karena tak kuat membeli jagung.

Birokrat memiliki kepentingan menghapus kemiskinan. Birokrat mempunyai tanggungjawab memerdekakan rakyat miskin “merdeka”, agar mereka hidup lebih baik. Tetapi tingkat kepuasan pelayanan prima belum terjadi untuk rakyat miskin selama pemerintahan SBY jilid I dan II. Pelayanan prima untuk sesama birokrasi wah, mantap sekali. Tiap tahun gaji naik. Tahun 2011 kenaikan menjadi 5 persen. Sebentar lagi 8000 pejabat negara naik gaji, gara-gara SBY mengatakan sudah tujuh tahun gaji presiden belum naik. Itu keuntungan buat birokrat. Rakyat rugi terus, apalagi rakyat miskin, tertimpa tangga terus, ketika mereka terus jatuh.

Saya mundur agak jauh ke belakang melihat kemiskinan. Sebagai gambaran pada Maret 2008 jumlah orang miskin mencapai 35 juta jiwa. Angka ini lebih rendah dari tahun 1998 yang berjumlah 49,5 juta jiwa. Tetapi orang meragukan data Badan Pusat Statistik (BPS) karena dihitung sebelum kenaikan harga BBM. Ada keyakinan jumlah penduduk miskin justru bertambah sekitar 20 persen, dan pengangguran naik 13-14 persen. Sekarang pun orang kurang meyakini data kemiskinan BPS. Karena rakyat miskin penerima raskin mencapai 70 jutaan. Pemegang kartu jaminan kesehatan masyarakat(Jamkesmas) bagi rakyat miskin jumlahnya sekitar 70jutaan juga. Mereka itu rakyat miskin.

Kepercayaan (trust) rakyat kepada SBY merupakan modal sosial bernilai tinggi, tetapi SBY tidak melihat itu, lalu memerintah lebih baik, fokus untuk menyejahterahkan rakyat miskin. Rakyat pesimis, setelah enam tahun berlalu, modal sosial tersebut tidak berkembang? Perubahan positip belum nampak. Legitimisi dan kepercayaan rakyat, nampak diskoneksi dengan kinerja pemerintah.

Apakah pemerintah mengobral janji “perubahan”? Apakah pemerintah membohongi rakyat seperti pandangan para pemimpin agama? Saya ingat pendapat yang pernah dilontarkan ke publik oleh Siswono Yudo Husodo. Kemajuan yang paling terasa saat ini adalah sistem politik yang lebih demokratis.Tetapi sayangnya yang dilahirkan adalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan mengatakan, kondisi ini bisa membuat Indonesia kembali terjebak pada sistem otoritarianisme. Ini bisa terjadi jika rakyat melihat demokrasi gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat dan gagal mengartikulasikan aspirasi secara sehat.

Segi ekonomi rakyat?Rakyat makin kecewa dari hari ke hari. Harga cabai mencapai Rp 100.000 per kg. Beras kualitas sedang mencapai Rp 8.000 per kg. Memang rakyat tidak antri seperti yang sering kita lihat empat tahun lalu ketika mengantri untuk membeli beras, minyak tanah, minyak goreng. Mungkin karena Bulog menjaga stok, kalau beras jual murah melalui operasi pasar, akan diborong pedagang, maklum harga beras sedang meroket. Jadi, lebih baik membagi raskin. Tapi distribusi raskin pun terseok-seok. Tapi Bulog tidak mengakui stok beras kurang, yang ada hanya kita mulai import beras dari Vietnam dan Muangthai pada Desember 2010 hingga kini

Tempe sebagai “lauk rakyat” harganya melambung.Harga barang kebutuhan lain melambung. Harga yang naik, angka inflasi BPS menjadi tidak dipercayai rakyat. Daya beli makin tertekan dan melemah. Keresahan nampak membuncah. Balita kurang gizi bertambah, bahkan meninggal. Ibu hamil yang miskin bunuh diri bersama sang bayi. Ibu miskin melahirkan bayi lalu memegang kepala bayinya.

Menurunnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah SBY semestinya memacu SBY mengambil kebijakan luar biasa agar keresahan rakyat jangan memuncak. Kalau sampai terjadi amuk rakyat seperti di Tunisia dan Mesir, harap SBY maklum: tindakan rakyat bukan misteri yang tiba-tiba seperti terbunuhnya Agatha Christie, dan “Poirot”. Menurunnya kepercayaan disebabkan idealisasi rakyat tidak berbanding lurus dengan realita. Kita angkat topi, menaruh simpati kepada tokoh yang berani mempermalukan pemerintah SBY. Kita ingat, Megawati pernah mengatakan proses pembangunan “jalan di tempat”, maju selangkah, mundur selangkah, bak tarian poco-poco, seperti sentilan Megawati Soekarnoputeri tentu dengan menggunakan indikator yang dapat dibertanggungjawabkan.

Kita pun teringat apa yang pernah dilontarkan Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia, Rizal Ramli, yang pernah mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden pada 2009. Kata Rizal, yang berjaya hanya para elite. Nasib rakyat tetap terpuruk. Kehidupan mereka jauh dari sejahtera. Hasil kajian mengungkapkan20 persen kelompok elite menguasai 80 persen aset kekayaan nasional. Sebanyak 80 persen rakyat Indonesia hanya kebagian 20 persen sisanya. Memrihatinkan dan ironis kehidupan bangsa ini.

Indikator tadi memicu kepercayaan kepada pemerintah menurun. Legitimasi pun mulai terlihat Senayan. Selama ini hubungan antara pemerintah SBY dengan sekretariat gabungan (setgab) mulai kurang mesra. Kecenderungan “pecah kongsi” semakin dekat, dengan kasus mafia pajak dan mafia hukum, di mana wakil rakyat di Senayan berasal partai setgab di luar Partai Demokrat mengusulkan menggunakan hak angket anggota DPR. Dari Senayan DPR RI mbalelo. Para wakil rakyat, termasuk Golkar, “melawan” apalagi beberapa tokoh Golkar dimasukan sel oleh KPK secara ”tebang pilih” dalam soal cek perjalanan.

Menurut pengertian umum, modal (capital) merupakan bentuk material yang digunakanatau yang tersedia dan siap digunakan dalam proses produksi untuk mencapai kemakmuran. David Halpern (Social Capital, Polity Press, Cambridge, edisi pertama 2005) mengatakanjenis modal (capital) adalah modal uang (financial capital), modal fisik (physical capital), modal lain berwujud harta yang kelihatan (other tangible assets capital), modal manusia(human capital) dan modal sosial (social capital).

Terlibat dalam jaringan-jaringan sosial, bisnis, kekerabatan, berbagai kebiasaan sosial, adalah modal sosial. David Halpern mengatakan, modal sosial adalah setiap saat kita saling berhubungan, bekerjasama, saling memerhatikan.

Modal sosial berdasar kepada hubungan kekeluargaan, berbasis hubungan kerja, sertakepentingan bersama. Modal sosial memiliki tiga komponenn dasar yaitu, jaringan, norma sosial, nilai sosial, dan harapan.Tiap warga kelompok memahami serta menaati norma, nilai, serta memperjuangkan harapan bersama. Modal sosial mengandung sanksi, di samping ganjaran dan penghargaan (punishments and rewards). Semuanya dimaksudkan menolong menegakkan norma dan merawat jaringan.

Modal sosial menyusut maka bagaimana kita bisa merdeka dari kemiskinan? Modal sosial menyusut berarti kebersamaan kepada rakyat yang terpuruk menyusut. Pemerintah, wakil rakyat sibuk mementingkan kelompok, parpol, dan katong sendiri. Korupsi adalah wujud memerhatikan diri sendiri. Kini, to do somethinggood for each other, mengabdi rakyat, demi “perubahan” (changes) melalui pemerintah, DPR RI kini terlihat rada menjauh dari rakyat. Pemerintah dan DPR RI seharusnya makin serius memerhatikan rakyatnya. Banyak persoalan rakyat, namun solusinya lemah. Rakyat kurang memperoleh pelayanan dan pengayoman maksimal. Kepentingan rakyat kurang dipedulikan.

Kita warga negara yang satu,berada pada kapal yang sama? Selayaknya rakyat yang terpuruk pun ”dimerdekakan” untuk bersekolah dengan layak, tanpa menemui kesulitan membayar. Anak pemulung, anak penjaga pompa bensin, anak sopir harus memperoleh pendidikan layak, sama seperti anak anggota DPR RI, anak pejabat pemerintah, anak pimpinan perusahaan/BUMN/BUMD.

Tetapi seperti data di atas, nyata bahwa disparitas makin melebar. Disparitas ”diciptakan” pemerintah serta wakil rakyat melalui praktek korupsi. Karena elite mendahulukan kepentingan serta kebutuhan sendiri, golongan, parpol. Maka rakyat miskin dan banyak rakyat yang menjadi ”miskin baru”, karena misalnya korban banjir, bencana alam, seperti di Jawa, masih telantar. Pasien sakit yang miskin telantar. Mereka termangu dan mengurus diri sendiri.

Padahal Pemerintah dan wakil rakyat eksis karena ada rakyat. Emerintah ada karena rakyat ada. Pemerintah ada untuk melayani rakyat. Kalau tugas itu tidak dilaksanakan selayaknya, amat ironis. Kepada siapa rakyat harus berharap?

Teramat sering terjadi unjuk rasakorban lumpur panas Lapindo karena kebutuhan mereka tidak sesuai dengan permasalahan. Raskin kepada rakyat miskin berkualitas rendah.Pemerintah melihat kepentinganrakyat miskin dengan sebelah mata. Pelayanan kesehatan pasien miskin melalui Aseskin bermasalah disebabkan oleh ketidakpekaan pemerintahmerasakan detak jantung rakyat yang mudah terserang penyakit, namun sulit berobat untuk sehat kembali.

Pemerintah serta wakil rakyat kiranya memahami, menyusutnya modal sosial dari bangsa ini menjadikan jutaan rakyat sakit jiwa. Setiap bangun pagi, jutaan rakyat menyalahkan pemerintah yang tidak adil, kurang memperhatikan rakyat miskin dan hidup terpuruk. Sedangkan pejabat bertambah makmur. Rakyat adalah pembayar pajak setia ketika membeli buku tulis, pensil, sabun, korek api, rokok. Seharsusnya pemerintah mengembalikan faedah pajak dalam bentuk kecukupan pangan, minyak goreng murah, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan dan lainnya. Tidak adil, brutal, jika hasil pajak dikorupsi, sehinggakualitas pelayanan buruk, rakyat menderita.

Kita hidup dalam satu kapal: Indonesia. Janggal jika yang lain senang, hidup mewah, yang lainnya hidup menderita. Modal sosial harus diberdayakan. Birokrasi pemerintah tak ada jalan lain dalam pelayanan: harus memberikan yang prima, terbaik kepada rakyat, terutama yang miskin. Birokrat jangan bikin ”jurang” dalam pelayanan. Karena rakyat makin hidup susah.

Saling memerhatikan, melayani dengan tulus agar rakyat tidak kelaparan, kurang gizi. Modal sosial kebersamaan, saling memerhatikan niscaya mereduksi kemiskinan, ketidakadilan, serta memberikan kesejahteraan seluruh rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline