Lihat ke Halaman Asli

Kriminalisasi Atas Anak

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kita yang berkeluarga dan memiliki anak menginginkan, mendoakan agar anak kita hidupnya sejahtera, bahagia dan beruntung nanti di masa depan. Dalam kompleksitas masalah anak yang kita hadapi semenjak lama, namun upaya pencarian solusi belum terlalu mencerahkan apalagi mendukung nasib anak ke arah lebih baik, bisa saja menimbulkan pesimisme banyak keluarga, betapa sulitnya saat sekarang mengasuh, mendidik, anak ke arah hidup sejahtera, bahagia dan beruntung. Maka, yang kita alami saat ini sejumlah anak seolah menilai betapa hidup mereka kurang sejahtera, bahagia, keuntungan jauh dari dirinya. Jika mereka yang terantuk kesalahan sulit memperoleh pembelaan, apalagi penghargaan dari yang mereka hormati, yaitu manusia dewasa yang bertugas di berbagai instansi terkait dengan menciptakan masa depan sejahtera bagi anak.

Kriminalisasi anak makin berkembang terus. Kriminalisasi anak meningkat berarti makin banyak anak berada dalam kehidupan masa kecil yang pahit. Agar permasalahan apalagi kepahitan hidup yang menimpa anak dapat ditekan sampai titik terendah agar anak jangan terlalu merasakan suasana hidup dalam dunia yang begitu memberatkan atau bahkan menutup hidup anak menuju hidup dan masa depan lebih cemerlang, maka instansi terkait kesejahteraan anak perlu memberikan intervensi atas dasar rasa keadilan yang lebih masuk akal kepada anak melalui lingkup tugas tiap instansi.

Fokus tulisan ini membahas tentang permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum (disingkat ABH). Beberapa tahun ini kasus ABH makin meningkat, di mana penyebabnya terletak pada masih ada lembaga, oknum, yang belum saling memahami, mendukung dalam rangka memberi perlindungan. Terutama muaranya adalah menyikapi seutuhnya proses pertumbuhan dan perkembangan anak.

Seyogyanya demi perlindungan dan kesejahteraan anak maka instansi terkait harus mengutamakanproses tumbuh-kembang fisik dan psikis anak agar terbangun secara optimal.

Akumulasi masalah yang menghadang kesejahteraan anak belum terpecahkan, kini muncul keprihatinan baru akan nasib anak: puluhan ribu anak Indonesia berada dalam jeruji besi. Status mereka adalah narapidana, dipenjarakan. Paling memelas lagi, sebagian besar anak-anak dalam jeruji besi berada dalam ruangan yang sama dengan penjahat lainnya yang berusia dewasa.

Kita memprediksi, dampak negatip bakal dipikul anak-anak yang berada di balik jeruji besi. Kondisi anak-anak seperti itu sesungguhnya tidak akan jauh dari kenistaan, kekerasan. Mungkin pula sebagian mereka sedang belajar atau meniru cara-cara bagaimana berbuat jahat atau lebih jahat.

Akan dibawa ke mana bangsa besar ini jika sebagian anak mengalami proses tumbuh kembang fisik dan psikis tidak sehat itu? Apa yang akan bangsa ini menuai jika puluhan ribu anak yang tidak atau kurang memperoleh kasih sayang itu esok lusa kembali, tinggal dalam masyarakat. Apa dampaknya ketika mereka sudah menjadi manusia dewasa?

Ribuan ABH yang kini mengalami kriminalisasi mejadikan kita harus putar otak, mengimplementasi nurani bersih, agar kenistaan dan kecurangan kita atas anak bisa dihentikkan.

Berikut data angka yang memilukan, penulis kutip dari sumber Direktorat Pelayanan Sosial Anak, Kementerian Sosial. Pada tahun 2008 dari 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), Kementerian Hukum dan HAM dilaporkan terdapat 6.505 anak dengan kenakalan diajukan ke pengadilan, dan 4.622 anak di antaranya (71,05%) diputus pidana. Tahun 2009 kasus tindak pidana anak yang diajukan ke meja hijau pengadilan meningkat menjadi 6.704 anak, 4.748 di antaranya (70, 82%) diputus pidana.

Angka seluruh kasus anak mungkin jauh lebih besar karena angka di atas hanya bersumber dari 29 Bapas yang memberi laporan, padahal di seluruh Indonesia terdapat 62 Bapas.Jika dihitung secara rata-rata kasar, tiap Bapas tahun 2009 melaporkan 231 anak diajukan ke meja hijau dan 163 anak di antaranya diputus pidana maka diperkirakan kini terdapat sekitar 14.322 anak yang diajukan ke persidangan dan 10.106 anak telah diputus pidana, alias menjadi narapidana, tinggal meringkuk dalam sel-sel Bapas.

Orang di luar negeri heran dan bertanya kepada pejabat pemerintah serta pejabat lembaga yang bergiat dalam perlindungan anak, koq banyak amat anak yang jahat (ABH) di negeri ini? Padahal persoalan sebenarnya terletak pada hukum formal yang sama sekali tidak memberi perlindungan kepada anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak benar lagi untuk digunakan untuk mengadili anak, karena jelas mengkriminalasasi anak. UU No.3/1997 sudah disarankan sejak bertahun-tahun agar harus diamandemen., karena tidak pantas menetapkan putusan pidana kepada anak usia 8 tahun. Tetapi langkah amandemen ini masih belum nampak.

Dengan landasan hukum formal seperti itu, ditambah kultur aparat seperti polisi,Satpol PP yang masih suka menyiksa anak, maka perlindungan dan kesejahteraan makin sulit diwujudkan di negeri ini. Nomenklatur perlindungan dan kesejahteraan anak harusnya jangan hanya dipidatokan, tetapi diimplementasi sebaik mungkin di tengah masyarakat agar membuahkan hasil konkret, dengan dampak positip anak merasa sejahtera fisik dan psikis.

Kondisi sekarang nampaknya perwujudan dua nomenklatur tersebut makin sulit. Yang memelas sekali, justru pesakitan yang paling tertindas adalah anak-anak miskin. Mari kita becermin dari kasus 10 anak yang ditangkap di Tangerang karena mereka kedapatan sedang bermain judi. Juga kasus Raju di Sumatera Utara yang diadili karena kasus penganiayaan, dan diputus pidana.

Instansi terkait, KPAI, Komnas PA, LSM di bidang penegakan hukum, perlindungan dan kesejahteraan anak agar serius mengimplementasi segera Beijing Rules tahun 1985 di mana hukum tidak boleh menghambat proses tumbuh kembang anak, tidak boleh mengkriminalisasi, mendiskriminasi anak. Sebaliknya hukum harus mengutamakan kepentingan terbaik anak.

Kondisi Sekarang yang tidak sehat dan tidak menyejahterakan anak harus segera memperoleh perhatian, terutama dari seluruh instansi penegak hukum terkait agar pembangunan kesejahteraan anak janganterabaikan dengan sikap oknum dan dukungan peraturan hukum yang sudah tidak up to date.

Banyaknya anak yang ditahan dalam satu sel dengan tahanan dewasa,ABH yang tidak bisa sekolah, jelas merupakan perampasan kemerdekaan anak secara terang-terangan. Pemerintah harus menyetop kecurangan ini. Apalagi amat menyakitkan dan buruk sekali kehidupan di Lapas/Bapas bagi anak, sebab anak digabung dengan orang dewasa dalam sel yang sama.

Sepertinya pemerintah membiarkan psikis anak terkontaminasi perilaku jahat orang dewasa. Penjara bukanlah solusi terbaik memberikan hukuman kepada anak. Kalau kita jujur, kesalahan terhadap anak adalah dampak dari pengaruh lingkungan di mana setiap hari anak “belajar” dari perilaku masyarakat dan lingkungan yang dekat dengan anak; atau pengaruh yang berkahir pada jatuhnya sorban atas anak bersumber dari luar diri anak.

Belum ada persepsi yang sama tentang perlindungan anak khususnya kepada ABH menyebabkan makin ribet persoalan ini ditandai kasus yang bertambah. Dalam benak penegak hukum stereo type ABH adalah anak nakal. Maka, aparat penegak hukum menggunakan pasal-pasal dalam KUHAP/KUHP yang berbau atau peninggalan kolonial yang sudah tidak cocok kondisi saat ini. Peradilan pun menjadi jelas, tidak memihak terhadap hak-hak anak-anak. Akibatnya ABH selalu terpojokkan dan akhirnya anak dikalahkan. Hidup mereka merana, tersiksa fisik dan psikis seumur hidup.

Semakin banyak jumlah anak di Lapas/Bapas menyebabkan timbulnya berbagai pertanyaan dari publik. Bagaimana sih pemerintah ini koq tidak arif dan bijaksana menyikapi permasalahan ABH dengan konsisten dan responsif, yang sesuai koridor perlindungan dan kesejahteraan anak?

Sejauh mana setting agenda demi memprioritaskan kepentingan anak, jika puluhan ribu anak berada dalam Lapas/Bapas, dan mungkin ribuan lagi akan menuju ABH dan mereka akan mengalami nasib buruk yang sama? Adalah benar, untuk melindungi anak dari tindak kekerasan dan kejahatan terutama bagi anak yang berhadapan dengan hukum, penjara anak harus dihapuskan karena pemenjaraan anak adalah wujud kriminalisasi anak.

Pemerintah agar mendengar seruan yang makin nyaring disampaikan berbagai kalangan yang peduli terhadap ABH. Akan lebih baik apabila penjara anak digantikan dengan lembaga pengembangan kreativitas anak yang berkonotasi positif. Pertanyaan publik di atas menjadi ”PR”, tanggungjawab pemerintah, agar perlindungan dan kesejahteraan anak nyata di lapangan. Instansi terkait agar bekerja komprehensif, terpadu, sinergis demi kesejahteraan anak Indonesia.

Penanganan untuk membangun anak oleh satu dua lembaga saja mana mungkin? Semua instansi terkait harus berani mengoreksi kelemahan mereka yang berdampak ABH teraniaya dan, tidak memperoleh perlindungan, akhirnya anak tidak sejahtera. Masa depan negara terletak pada persiapan dan perlakukan kepada anak-anak masa kini.

Masa depan anak masih panjang. Pada era globalisasi dan perkembangan situasi dan kondisi dalam negeri sekarang, ketahanan dan daya tahan anak (resilence) sangat diperlukan, dan didukung oleh perhatian orang tua dan seluruh komponen bangsa agar anak dapat tumbuh kembang, berprestasi serta berpartisipasi mengukir masa depan mereka sendiri.

Mengkriminalkan, apalagi memenjarakan anak sama dengan menghapus hak anak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan mempengaruhi psikologi anak.Seharusnya anak yang bermasalah dengan hukum cukup di rehabilitasi di panti. Pemerintah perlu membangun panti sosial rehabilitasi anak(PSRA) di 33 provinsi agar rehabilitasi ABH di berjangkauan luas. Alokasi dana membangun panti bagi anak berefek positip bagi tumbuh-kembang psikis dan psikis anak, ketimbang alokasi dana membangun ruang tahanan anak

Pemerintah/instansi terkait semestinya mengimplementasi Kesepakatan Bersama antara Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, dan Kepolisian Negara, Nomor: 12/PRS-2/KPTS/2009; M.HH.04.HM.03.02Th 2009; 11/XII/KB/2009; 1220/Menkes/SKB/XII/2009; 06/XII/2009; B/43/XII/2009 yang dibuat pada Desember Tahun 2009. Kesepakatan bersama tersebut tentu telah meneropong dan mengkaji persoalan ABH memang kompleks. Entah mengana kesepakatan Belem baik dipraktikkan di lapangan. Perlu para petinggi instansi terkait mencari titik lemah mengana ada hambatan implementasi. Jika kesepakatan ini berfungsi baik maka menolong solusi problematik ABH.

Satu hal penting perlu dikonkretkan juga, terutama bagi jajaran Polri, karena sudah ada dukungan Peraturan Kapolri Nomor 8/2000 Pasal 25 yang mengatakan ”pemidanaan, pemenjaraan, penangkapan terhadap anak dilakukan apabila terpaksa dan hanya sebagai jalan terkahir”. Ini pun masih amat lemah untuk dipahami dengan baik oleh polisi yang bertugas terkait pidana anak. Polisi semestinya consisten, tidak usah ragu-ragu menjalani peraturan ini demi perlindungan dan pencapaian kesejahteraan anak yang dijamin makin membaik di masa yang akan datang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline