Dalam pandangan awam saya, perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan sederet buntut yang menyertainya, tak lebih dari sekadar perkara politik belaka. Hebatnya, politik itu mampu menyamar menjadi apa saja, menarik siapa saja, menyertakan siapa saja. Kini, politik itu sadar betul akan adanya jalur yang menyebabkan siapa saja saling terhubung dan terlibat.
Sesungguhnya saya tak tertarik sama sekali terhadap perkara ini. Bukan saja perkara ini, tetapi segala hal yang mengandung unsur politik pada dasarnya saya memang tak pernah bersimpati. Jika pun saya menuliskan ini, itu tidak berarti bahwa saya telah mengubah jalan pikiran saya. Saya tetap antipati sebagaimana posisi saya semula.
Maka memang, sejak awal perkara ini mencuat, saya hanya sekadar mengintip saja. Mengintip berarti bahwa saya tetap mengikuti kabar-kabar yang menyangkut tentang perkara ini, tanpa ikut-ikutan menaruh kesan atau mengutarakan pendapat, apalagi sampai berdebat.
Boleh jadi saya menuliskan ini karena saya tersadar, betapa besar ketertarikan rakyat Indonesia terhadap politik. Malah luar biasa, jika boleh dikatakan demikian. Bahkan, mereka yang sehari-harinya seorang SPG kosmetik di sebuah mal atau pedagang ikan di pasar tradisional, juga tak ketinggalan. Rakyat, terlepas dari level kedalaman pengetahuan dan cara berpikirnya, telah bisa menganalisis laku-laku politik, membaca simpul-simpul yang mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lain, menebak hubungan seseorang dengan orang lain.
Bagaimana bisa itu semua terjadi? Bagaimana bisa rakyat turut terlibat ketika bahkan tak ada dampak yang akan mereka rasakan jika mereka memilih diam saja?
Fenomena seperti ini tentu bukan yang pertama. Sudah sangat sering, bahkan. Sebut saja saat masa Pilpres 2014 lalu. Atau saat perombakan kabinet yang mana ada satu menteri yang diduga memiliki status kewarganegaraan ganda. Rakyat banyak selalu terlibat (dilibatkan?).
Setiap kali memerhatikan gejolak semacam ini, telunjuk saya senantiasa menuding ke arah media massa, sebagai pemantik (untuk tak menyebutnya sebagai biang kerok) keterlibatan rakyat banyak.
Agar mudah dipahami, di sini saya akan mencoba menghindari penggunaan istilah-istilah teknis atau keilmuan dalam komunikasi massa.
Kenapa media massa? Karena media massa yang memungkinkan siapa saja di mana saja dapat mengetahui kabar yang sekalipun jauh. Kasus Ahok, misalnya. Oleh karena ada media massa, orang-orang dari Sabang sampai Merauke pun menjadi tahu.
Permasalahannya adalah apakah yang ditampilkan media massa benar-benar sebagaimana fakta yang ada? Apakah video Ahok di Kepulauan Seribu itu benar adanya? Atau apakah informasi bahwa ada yang mengubah video tersebut benar adanya? Lalu seperti apa demonstrasi 4 November itu? Apakah reportase media massa telah mencakup seluruh bagian dari demonstrasi?
Di dalam peliputan hingga pengemasan berita yang dilakukan oleh media massa, berlaku apa yang disebut dengan pembingkaian. Apa yang disajikan oleh sebuah media massa adalah sepotong fakta yang bentuknya menyesuaikan bentuk bingkai yang dipakai oleh media massa tersebut. Demikian pula dengan hiasan-hiasan yang menyertainya. Media massa bebas memilih jenis hiasan seperti apa yang akan dipakai untuk cetakan/bingkaian fakta yang mereka sajikan.