Rapat Koordinasi Terbatas yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tanggal 24 Mei 2016 memutuskan impor bawang merah sebanyak 2.500 ton. Menteri Perekonomian Bidang Perekonomian, Darmin Nasution beralasan, diputuskan impor tersebut karena harga bawang merah di pasaran saat ini Rp 41.000 per kg, harga bawang merah seharusnya Rp 25.000 per kg. Inilah yang mendasar diputuskan impor karena merupakan upaya mewujudkan instruksi Presiden RI Jokowi agar harga bawang merah di tingkat konsumen menjelang Ramadhan turun ke level Rp 25.000 per kg.
Namun, apabila menelusuri data ketersediaan dan kebutuhan bawang merah saat ini, kebijakan pemerintah memutuskan impor dianggap dangkal sehingga benar-benar mencederai atau melukai petani bahkan memiskinkan petani secara sistemik. Sebab, kebijakan impor tersebut menghianati fakta akan capaian produksi bawang merah yang saat ini melebihi kebutuhan konsumen yang merupakan hasil kerja keras dari berbagai program Kementerian Pertanian. Selain itu menghianati juga harga riil bawang merah di pasar.
Data Kementerian Pertanian (Kementan) 2016 menyebutkan, stok bawang merah pada bulan Mei sebanyak 125.200 ton sedangkan kebutuhan hanya 81.200 ton dan pada bulan Juni-Juli mencapai 241.600 ton sedangkan kebutuhannya hanya 175.600 ton. Dari data ini terlihat, diperoleh surplus bawang merah sampai bulan Juli 110.000 ton. Harus dicatat, besarnya surplus ini mampu mencukupi kebutuhan pada bulan berikutnya yang hanya 90.000 ton. Sementara itu, produksi bersih bawang merah di tahun 2016 diprediksikan mencapai 1.183.187 ton sedangkan kebutuhannya hanya 991.901 ton sehingga diperoleh suplus di tahun 2016 sebesar 191.286 ton. Kebutuhan ini sudah menghitung secara komprehensif yaitu terdiri dari konsumsi sebanyak 641.588 ton, horeka dan warung 139.200 ton, benih 129.133 ton, dan industri 82.000 ton. Sementara jumlah surplus sangat besar dibanding jumlah yang diputuskan untuk impor.
Merujuk pada kebutuhan bawang merah yang rata-rata 90.000 ton per bulan, secara matematis kebutuhan bawang merah per harinya 3.000 ton. Artinya bawang merah impor 2.500 ton hanya mencukupi kebutuhan satu hari bahkan tidak cukup. Dengan demikian, impor bawang merah sangatlah tidak masuk akal apabila alasannya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri selama menjelang bulan Ramadhan ternyata hanya mencukupi kebutuhan satu hari. Padahal, fakta di atas memperlihatkan stok bawang merah surplus. Namun harus diakui dampak kebijakan impor sangatlah merusak psikologis petani yang sedang semangat menanam bawang dan langsung menurunkan harga yang merugikan petani.
Sementara itu, membanjirnya produksi dan stok bawang merah di atas, tidaklah menggunakan kaca mata kuda yakni hanya mengacu pada data Kementan, namun juga mengacu pada data fakta di lapangan. Misalnya, data jumlah bawang merah yang masuk di Pasar Kramat Jati Jakarta Timur saat ini. Ketua Asosiasi Bawang Merah Pasar Kramat Jati, Hasan Kudri mengungkapkan ketersediaan bawang merah pada bulan Juni dan Juli aman tercukupi bahkan surplus. Ini dibuktikan dengan pasokan bawang merah yang masuk ke Jakarta saat ini sebanyak 280 ton hingga 300 ton per hari sedangkan kebutuhannya hanya 240 ton hingga 280 ton per hari. Apalagi nanti pada bulan Juni-Juli yang merupakan puncak panen raya, stok dan supply bawang merah pasti akan lebih banyak bahkan surplus.
Pada skala nasional, Ketua Dewan Bawang Merah Nasional, Amin Kartiawan Danova menjamin ketersediaan bawang merah di daerah pada bulan puasa dan Lebaran tercukupi. Produksi bawang merah melimpah di daerah sentra produksi yakni Bima, Brebes, Nganjuk, Probolinggo, Malang, Sumbawa, Enrekang dan Jawa Barat mencapai 85.000 ton hingga 110.000 ton.
Terkait dengan harga yang menjadi variabel diputuskan impor, harga bawang merah di Pasar Kramat jati saat ini sudah turun jika dibandingkan harga pada dua pekan lalu. Harga bawang merah di tingkat bandar Rp 14.000 hingga Rp 20.000 per kg sedangkan di tingkat eceran untuk bawang merah tipe kecil Rp 20.000 per kg dan bawang merah tipe besar Rp 25.000 per kg. Harga bawang merah pada dua pekan lalu mencapai Rp 40.000 hingga Rp 45.000 per kg. Namun, harga di bulan Juni dan Juli atau menjelang Ramadhan dan saat Lebaran diprediksi akan turun sampai Rp 13.000 hingga Rp 20.000 per kg.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah harga bawang merah di tingkat petani sangat terjangkau atau sesuai dengan keinginan pemerintah. Data Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) menyebutkan, harga bawang merah pada tingkat petani hanya mencapai Rp 16.000 hingga Rp 17.000 per kg. Harga bawang merah di pasar induk pun hanya mencapai Rp20.000 per kg.
Kenapa Harus Impor?
Dari fakta di atas, tentunya menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan publik yang kritis. Fenomena stok melimpah sementara harga di pasar melonjak jauh, patut dikatakan bahwa kebijakan impor bawang merah memiliki magnet yang kuat pada mengutamakan dan mengamankan kepentingan pelaku usaha yang menginginkan impor. Pemerintah lebih takut pada tidak tercapainya kepentingan segelintir pelaku usaha dibanding tidak sejahteranya petani dan tidak terjangkaunya konsumen membeli. Oleh karena itu, bisa jadi harga bawang merah di beberapa tempat sengaja dibuat mahal mencapai Rp 41.000 per kg oleh para pelaku usaha licik yang menginginkan impor. Mau tidak mau, pemerintah yang sudah berkoalisi mesra dengan pelaku usaha memiliki alasan logis untuk memutuskan impor.
Selain itu, kebijakan impor bawang merah memiliki indikasi Asal Bapak Senang (ABS). Sebab, Presiden Jokowi menginstruksikan agar harga bawang merah di tingkat petani minimal Rp 15.000 per kg dan di konsumen maksimal Rp 25.000 per kg. Padahal fakta di atas, harga riil di petani dan konsumen tanpa harus impor akan terbentuk sendiri seperti yang diinginkan presiden.