Lihat ke Halaman Asli

Mengurai Pandangan Paradoks Pengamat Pertanian

Diperbarui: 3 Mei 2016   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret petani modern yang sudah mengenal digitalisasi, Sumber: gerbangtani.wordpress.com

"Pembangunan pertanian memunculkan beragam paradoks. Transformasi struktural pertanian tidak berjalan baik. Pada saat yang sama, harga komoditas pertanian yang tinggi di tingkat konsumen tidak menjadikan petani terpacu. Populasi petani juga terus mengalami penyusutan".

Pernyataan di atas merupakan pandangan yang disampaikan tiga pengamat pertanian pada Surat Kabar Kompas halaman 18 (2/5/2016). Ketiga pengamat tersebut, dua orang notabenenya guru besar di perguruan tinggi negeri dan yang satunya pensiunan peneliti Kementerian Pertanian. Pandangan mereka dimaksudkan untuk mendiskreditkan berbagai terobosan kebijakan yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK dalam membangun pertanian dan kedaulatan petani. Program pertanian yang dijalankan pemerintah saat ini sama persis seperti sepuluh tahun sebelumnya bahkan sebagian besar mengopi masa orde baru, berjalan di tempat dan tidak memiliki desain jangka panjang, sehingga produktivitas pertanian memiliki masalah alias tidak meningkat.

Namun, secara objektif mengacu pada data saat ini, pandangan di atas sangat tidak tepat bahkan bisa dikatakan keliru dengan realita yang telah dicapai pemerintah melalui Kementerian Pertanian. Pembangunan pertanian saat ini telah memberikan wajah baru yang mengarah pada kemajuan melalui modernisasi pertanian. Perubahan ini dicapai melalui kebijakan pembangunan yang dikeluarkan dan diimplementasikan pemerintah secara fundamental. Yakni menggenjot produksi, meningkatkan kegiatan hilirisasi, memperbaiki tata niaga, mengendalikan impor atau mendorong ekspor dan menjadikan Indonesia berdaulat pangan.

Berbagai terobosan kebijakan pembangunan pertanian di era pemerintahan Jokowi-JK disusun secara jangka pendek dan jangka panjang. Pertama, merevisi Peraturan Presiden Nomor 172/2014 tentang tender menjadi penunjukkan langsung atau e-katalog. Kedua, melakukan refocusing anggaran di tahun 2015 sebesar Rp 4,1 triliun dan di tahun 2016 Rp 4,3 triliun yang diprioritaskan untuk peningkatan produksi pada tujuh komoditas strategis yaitu padi, jagung, kedelai, daging sapi, cabai, tebu, dan bawang merah.

Ketiga, memberikan bantuan benih bukan di lahan existing tetapi pada lahan yang belum mendapatkan bantuan. Keempat, melakukan rehabilitasi irigasi tersier sebesar 2,6 juta ha. Kelima, optimalisasi lahan sebanyak 932 ribu ha. Keenam, menyalurkan bantuan alat dan mesin pertanian sebanyak 65,431 unit atau naik 617 persen dari tahun sebelumnya.

Ketujuh, dalam upaya meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani, pada aspek hulu dan on-farm, pemerintah melakukan akselerasi peningkatan produksi dan kualitas produk. Strategi ini dengan memberi kemudahan agro-input berupa subsidi pupuk, benih dan berbagai bantuan, membangun infrastruktur irigasi dan lahan, mekanisasi untuk efisiensi produksi dan mutu hasil, pelatihan, penyuluhan, asuransi usaha tani dan lainnya. Kedua, pada aspek hilir, dilakukan pengolahan hasil untuk meningkatkan nilai tambah, pengaturan tata niaga, serta mengendalikan impor dan mendorong ekspor. Pengaturan tata niaga dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah atau beras yang diikuti Program Menteri Pertanian berupa Sergab (Serap Gabah) petani oleh Bulog telah berdampak langsung pada stabilisasi harga gabah petani (Suwandi, 2016).

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), hasil dari berbagai kebijakan fundamental di atas yakni terjadi peningkatan produksi pangan di tahun 2015 seperti padi sebesar 75.361.248 ton atau naik 6,37 persen, jagung sebesar 19.611.704 ton atau naik 3,17 persen, kedelai sebesar 936.099 ton atau naik 0,85 persen, cabe rawit sebesar 881.145 ton atau naik 10,08 persen, cabe besar 1.103.110 ton atau naik 2,65 persen dan bawang merah sebesar 1.240.679 ton atau naik 0,75 persen serta gula sebesar 2.627.106 ton atau naik 1,74 persen dari tahun sebelumnya.

Produksi di sektor peternakan pun mengalami kenaikan, seperti sapi sebesar 523.927 ton naik 5,28 persen, ayam ras pedaging 1.627.106 ton naik 5,36 persen dan ayam ras petelur sebesar 1.289.716 ton naik 3,65 persen. Sehingga, di tahun 2015 Indonesia tidak melakukan impor beras, cabai, bawang merah, raw sugar sehingga telah menghemat devisa Rp 52 triliun yang dinikmati petani.

Pada Maret-Mei 2016, produksi padi telah mencapai 30,9 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 19,5 juta ton beras. Sementara kebutuhan konsumsi beras nasional selama tiga bulan hanya 7,98 juta ton, sehingga pada panen pertama tahun 2016, diperoleh surplus beras sebesar 11,52 juta ton. Capaian ini merupakan hasil kerja keras dari terobosan yang diimplementasikan pemerintah di lapangan melalui pengawalan program upaya khusus sebagai program akselerasi produksi.

Tak heran, peningkatan produksi pangan di tahun 2015 dan 2016 ini telah memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional, yakni menciptakan deflasi pada April 2016. BPS telah merilis data perkembangan indeks harga konsumen (IHK) pada April 2016, terjadi deflasi sebesar 0,45 persen. Penyumpang terbesar deflasi ini adalah dari kelompok pangan yang mencapai angka 0,94 persen. Deflasi April ini paling tinggi dibandingkan beberapa tahun lalu sejak tahun 2000. Namun hanya kalah dari tahun 1999, deflasinya 0,68 persen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline