Baru baru ini, setelah Pilpres 2014, sebuah kabar mengejutkan datang dari paripurna DPR tercinta kita.
Yaapp .... Revisi UUMD3 (Revisi Undang Undang MPR, DPR, DPRD, DPD).
Disaat kita fokus dalam masalah Pilpres 2014, para anggota dewan yang terhormat melakukan pengesahan revisi UUMD3 (Undang Undang MPR, DPR, DPRD, DPD). Namun, dalam proses pengesahan tersebut tidak sedikit anggota dewan yang melakukan walk out, fraksi PDIP, Partai Hanura dan PKB menjadi fraksi yang melakukan hal tersebut.
Banyak orang yang melihat hal ini sebagai manuver politik antar partai politik (parpol), namun saya menjadi orang yang menolak UUMD3 itu, mengapa?
Sederhana, koalisi.
Lobi lobi parpol jelas menentukan sah atau tidaknya UU yang sekarang ini menjadi kontroversial. Poin poin yang menjadi topik permasalahannya dari revisi UUMD3 ini adalah:
1. Mengubah ketentuan kuorum dalam hak untuk menyatakan pendapat dari 3/4 menjadi 2/3.
2. Anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa untuk penyidikan tindak pidana (termasuk kasus korupsi) tanpa izin presiden.
3. Wakil partai yang menjadi pemenang suara terbanyak tidak lagi otomatis menjadi Ketua DPR, melainkan akan dipilih dengan suara terbanyak berdasarkan paket yang bersifat tetap.
4. Dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan, khususnya terkait dengan Alat Kelengkapan DPR (AKD).
Berdasarkan Naskah Terbaru dari Revisi UUMD3 yang di-upload pada tanggal 11 Juli 2014 di situsparlemen tampaknya pion 1 dan 2 tidak lagi tercantum dalam naskah yang disahkan oleh Sidang Paripurna DPR. Pun begitu, poin 3 dan 4 tetap menjadi masalah karena melanggar prinsip keterwakilan DPR.
Akibatnya apaan sih?
DPR mengganti ketentuan yang mengatur Keterwakilan rakyat di posisi pimpinan DPR RI setelah kita memilih dalam Pileg 2014. Kenapa? Karena rakyat memilih partai di pemilihan legislatif dengan dasar UUMD3 versi sebelum direvisi, dimana rakyat mengasumsikan bahwa wakil dari partai pemenanglah yang akan memangku jabatan menjadi Ketua DPR dan posisi pimpinan lainnya. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang mempersamakan kedudukan semua warga negara sehingga penentuan komposisi DPR/DPRD secara proposional berdasarkan urutan perolehan masing masing parpol peserta Pemilu di seluruh Indonesia maupun daerah yang bersangkutan. Prinsip keterwakilan ini adalah ketentuan yang adil, karena perolehan peringkat kursi juga menunjukkan konfigurasi peringkat pilihan rakyat Indonesia.
Sekarang ini, PDIP menjadi pemenang Pileg 2014, tapi dengan adanya revisi UUMD3 yang sudah disahkan, jelas sekali. Bahwa yang menentukan untuk menjadi Ketua DPR bukan partai pemenang peserta Pemilu, melainkan melalui suara terbanyak (voting) dari anggota dewan lainnya. Makanya, PDIP saat ini sedang merencanakan melakukan judical review ke Mahkamah Konstitusi karena "jatahnya" gak dikasih. Muehehehehe ...
Revisi UUMD3 justru mengubah prinsip keterwakilan rakyat ini dengan musyawarah mufakat sesuai dengan amanat Pancasila yang bila tidak terpenuhi, dilakukan sistem voting berdasarkan paket yang bersifat tetap. Hal ini justru menimbulkan peluang politik transaksional yang selama ini kita lawan.
Revisi UUMD3 melindungi pejabat yang melakukan tindak pidana (termasuk kasus korupsi), siapapun yang menjadi presiden atau wakil presiden nantinya mendapatkan wewenang yakni mengizinkan atau tidak mengizinkan pemanggilan anggota DPR yang terlibat kasus pidana.
Peran Perempuan di posisi strategis di DPR semakin sempit dengan adanya revisi mengenai Alat Kelengkapan DPR (AKD). Ini berarti mengurangi keterwakilan dan peranan perempuan dalam proses di parlemen. Padahal, selama ini perempuan masih melawan stigma dan diskriminasi di kehidupan bermasyarakat. Sebelum direvisi, perempuan mendapat posisi strategis di keterwakilan DPR. Sekarang?
Dengan sistem yang diatur dalam Revisi UUMD3 ini, suara rakyat menjadi tidak terpengaruh dalam keterwakilan dalam kompisisi kepemimpinan DPR hingga ke level AKD yang sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR RI. Suara kita rakyat biasa memilih pada Pileg 2014 tidak lagi ada harganya.
Di dalam revisi UUMD3 memunculkan "Dana Aspirasi" yang diusulkan, bahwasannya hal tersbut memicu terjadinya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Awalnya diusulkan "Dana Aspirasi" ialah 15 milyar per dapil. Sementara sampai sekarang, menurut Wakil Ketua DPR fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso menjelaskan bahwa fraksinya tidak mematok 15 milyar per dapil. Besarnya anggaran tersebut disesuaikan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan program serta masukan dari daerah.
Cerdiknya, disaat kita sibuk mendukung Prabowo - Hatta atau Jokowi - JK untuk menjadi pemimpin di negeri ini, para anggota dewan yang terhormat itu melakukan pengesahan yang dipaksakan, Mengapa? Karena pengesahannya terjadi pada waktu malam tanggal 8 Juli 2014 (malam menjelang pencoblosan) Sebagian dari elit DPR RI melakukan pengesahan walaupun fraksi PDIP, Partai Hanura dan PKB walk out.
Dan juga, berdasarkan pembagian kursi di DPR, memang PDIP mendapatkan kursi terbanyak yakni 109 kursi. Namun, bila melihat dari revisi UUMD3, bukan wewenang PDIP yang menentukan siapa yang menjadi Ketua DPR dan posisi strategis dibawahnya. Melainkan akan dipilih dengan suara terbanyak berdasarkan paket yang bersifat tetap sesuai dengan poin poin diatas.
Saya tidak terima hal ini terjadi, konstitusi kita mau dibawa kemana? Mereka semena mena untuk mendapatkan kekuasaan tanpa pengawasan dari rakyat. Seolah olah rakyat tidak mempunyai suaranya.
Hanya saja, kalian pasti heran, orang orang dibalik pengesahan revisi UUMD3 ini.
Koalisi Prabowo vs Koalisi Jokowi.
Kok gitu?
Kita bisa melihat siapa saja yang setuju dan siapa saja yang tidak. Jelas kan?
P.S: Bila anda menolak Revisi UUMD3 dan menginginkan adanya judical review ke Mahkamah Konstitusi, silahkan menandatangani petisi tersebu tdengan link https://www.change.org/revisiuumd3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H