Lihat ke Halaman Asli

SBY dan Jalan Sunyi Perdamaian Pasca Pilpres

Diperbarui: 10 Mei 2019   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar https://www.jawapos.com 

Presiden RI ke Enam Susilo Bambang Yudhoyono tentu tidak pernah bermimpi akan menyaksikan perpolitikan seperti saat ini. Memimpin dengan tenang selama sepuluh tahun dengan memberikan kebebasan seluasnya kepada rakyat untuk berekspresi dan berpendapat, SBY juga mulus memimpin transisi pemerintahan dari Presiden RI ke Lima Megawati Soekarno Putri dan membimbing Presiden Jokowi menjalani masa transisi sebelum kemudian mengucapkan sumpah jabatan dihadapan anggota Majelis Pemusyarawatan Rakyat pada 20 Oktober 2014 silam.

Kini saat tengah disibukkan dengan aktifitas menjaga dan merawat Sang Isteri yang berjuang melawan penyakit kanker darah di National University of Singapore, SBY harus kembali mendapat cobaan. Ia diserang oleh koleganya sesama purnawirawan TNI, yaitu Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zein.

Menariknya, serangan itu disampaikan saat SBY tengah berjuang mengupayakan sebuah proses rekonsiliasi penuh dan menyeluruh pasca Pilpres 2019 yang berlangsung panjang dan bahkan disebut memakan korban nyawa.

Sebagaimana kita ketahui, Pilpres dan Pileg kali ini memang menyajikan berbagai drama politik yang berujung pada terbelahnya kekuatan masyarakat pada dua kelompok yang didasari pada identitas keagamaan. Para analis politik bahkan menyebut bahwa polarisasi ini terjadi akibat isu isu politik identitas yang disuarakan secara masif.

SBY sendiri pernah mengingatkan bahaya cara berpolitik seperti itu. Ia mendesak semua pihak harus memainkan peran politik mencerdaskan dan mempersatukan ditengah perbedaan pendapat. SBY bahkan meyebut, perbedaan pendapat tidak harus memecah belah rakyat dalam kelompok yang saling berbenturan.

Akan tetapi harus diakui, pasca peristiwa penghinaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta di tahun 2016 silam, polarisasi masyarakat memang terus menguat. Meski tidak dapat dibantah sebelumnya, aksi penolakan terhadap Ahok kerap terjadi dan diprovokasi namun puncaknya memang pasca peristiwa di Kepulauan Seribu tersebut.

Ucapan Ahok yang dinilai menghina Ayat Suci Al Qur'an itu kemudian digiring menjadi isu penolakan terhadap pejabat non muslim yang berakibat gesekan tajam di masyarakat saat pelaksanaan Pilkada 2017 silam. Hal itu terus terjadi karean waktu pelaksanaan Pilkada DKI berdekatan dengan pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2019 yang dilakukan secara serentak.

SBY saja menyesalkan hal itu. Sebagai prajurit TNI yang memegang teguh sumpah prajurit dan Sapta Marga TNI, ia jelas tidak menginginkan perpecahan di tengah masyarakat. Disisi lain sebagai seorang Presiden yang pernah menjabat selama dua periode, ia telah membangun pondasi politik dan sosial masyarakat dengan membuka lebar lebar keran kebebasan dengan penuh tanggung jawab.

Kini ditengah kegaduhan politik yang kian tak menemuka ujung, SBY seperti berjalan ditengah sunyi. Ia berpikir keras seorang diri agar perpecahan tidak meluas dan membahayakan keutuhan bangsa. Ia menjunjung tinggi kebhinekaan dan kemajemukan termasuk dalam hal politik, sosial dan keagamaan. Namun kemajemukan itu dalam pandangan SBY tidak harus memisahkan rakyat dalam dua kutub yang saling bertikai.

Di jalan sunyi menawarkan rekonsiliasi, SBY justru diserang. Padahal jika saja penyerangnya itu tahu bahwa SBY tengah berjuang mengupayakan perdamaian dan rekonsiliasi mungkin mereka akan meramaikan jalan SBY dan membantu Sang Negarawan untuk mengembalikan kedamaian rakyat dan menikmati pesta politik dengan asyik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline