Lihat ke Halaman Asli

Opera Kasus Century

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan polemik kasus Baillout Bank Century, memakan waktu yang cukup lama, ibarat suatu opera, kasus Century cukup menguras emosional masyarakat dalam perkembangan penanganannya. Terlebih lagi beberapa petinggi negara kala itu terlibat langsung dalam pengambilan keputusan baillout Century yang di sebut-sebut berdampak sistemik.

Awal mula terjadinya kasus Bank Century pada 18 November 2008. Kala itu, Bank Century yang sekarang berganti nama menjadi Bank Permata, mengalami defisit anggaran yang cukup mengkhawatirkan. Disebut mengkhawatirkan karebna pelanggan Bank Century tidak dapat mengambil atau melakukan transaksi dalam bentuk devisa, tidak dapat melakukan kliring, bahkan untuk mentransfer pun tidak mampu. Bank hanya dapat melakukan transfer uang ke tabungan. Jadi uang tidak bisa keluar dari bank. Hal ini terjadi pada semua pelanggan Bank Century.

Kasus Bank Century memiliki dampak yang sangat besar terhadap bank-bank lainnya dan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional. Kasus yang dialami Bank Century tidak hanya berdampak pada perbankan Indonesia, tetapi juga berdampak pada perbankan dunia.

Untuk mengantisipasi dampak tersebut pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyanimemberikan dana talangan (bail out) kepada Bank Century. Namun dalam pelaksanaannya baillout tersebut membengkak hingga Rp. 6,7 triliun dari semula hanya Rp. 1,3 triliun. Hal tersebutlah yang menjadi tanda tanya besar dan menjadi perbincangan hangat di beberapa media hingga sekarang.

Berbicara masalah sejarah awal mula kasus Bank Century sangatlah klise mengingat sulitnya untuk mengungkap fakta Century yang sebenar-benarnya. Hal yang mesti diperhatikan adalah perkembangan penanganan dan proses penyelesaian kasus tersebut .

Beberapa minggu terakhir, bebebrapa petinggi negara anatara lain, Boediono (mantan Gubernur BI), Jusuf JK (Mantan Wakil Presiden) dan Sri Mulyani (Mantan Menteri Keuangan) memberikan kesaksian di pengadilan. Ketiganya memegang otoritas tertinggi pengendali perekonomian saat Indonesia terimbas krisis global medio November 2008 atau saat prahara Bank Century terjadi. JK jadi pelaksana tugas presiden, Sri sebagai Menko Perekonomian sekaligus Menteri Keuangan, dan Boediono Gubernur Bank Indonesia.

Meskipun ada di satu pemerintahan, mereka berpandangan berbeda secara ekstrem terkait kondisi ekonomi saat itu. Bahkan, terkesan saling menyalahkan soal kebijakan pememberikan dana talangan (bail out) kepada Bank Century.

Saat bersaksi pada persidangan kasus Bank Century, 8 Mei 2014, JK berpendapat, tidak ada yang genting dalam perekonomian Indonesia pada November 2008. JK mengatakan bahwa Indonesia memang terkena imbas krisis yang terjadi di AS dan Eropa seperti penurunan nilai tukar dan perdagangan. Namun, saat itu, situasinya masih terkendali. Di sektor perbankan, meskipun ada pengetatan likuiditas, menurut JK, secara umum kinerja perbankan masih bagus tecermin dari peningkatan penyaluran kredit dan penurunan rasio kredit bermasalah.

Sementara Sri berpendapat situasi saat itu jelas krisis dengan gejalanya hampir sama dengan krisis tahun 1998. Kondisi krisis tersebut tecermin dari jatuhnya nilai tukar hingga lebih dari 30 persen hingga menyentuh level Rp 12.000 per dollar AS, naiknya suku bunga obligasi, dan merosotnya indeks harga saham hingga 50 persen.

Karena berbeda pandangan soal krisis, pendapat mengenai kebijakan yang akan diambil pun berbeda. Jk mengatakan bahw, sekitar Oktober 2008, Sri dan Boediono datang ke rumahnya untuk menjelaskan perlunya penjaminan penuh (blanket guarantee) untuk simpanan di perbankan. Tujuannya, agar masyarakat tidak panik dalam menghadapi situasi krisis saat itu. Perbedaan pandangan dan persepsi ekstrem memuncak atas kebijakan bail out Bank Century. JK menilai tindakan tersebut salah dan tidak memiliki landasan aturan. Menurut JK, bail out bank hanya dapat dilakukan jika pemerintah memberlakukan blanket guarantee. Itu karena menyelamatkan Bank Century sama saja dengan menjamin seluruh dana di Bank Century tetap aman..

Adapun Sri menjelaskan, kebijakan bail out Century didasarkan pada sistemik-tidaknya bank tersebut. Sri mencontohkan kondisi tahun 1997-1998 ketika penutupan bank-bank kecil memicu rush di bank-bank besar. Kendati sepakat dengan Boediono soal sistemiknya Bank Century, Sri menuding BI tidak akurat soal data kebutuhan modal yang harus disuntikkan ke Bank Century.

Sementara itu, kesaksian Boediono dalam kasus bail out Century mengatakan bahwa tidak tahu pengucuran dana Penyertaan Modal Sementara (PMS) senilai Rp 6,7 triliun yang dikucurkan BI melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ia hanya mengetahui adanya perubahan dari koordinator Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).

Namun, kesaksian terkait pembengkakan anggaran bail out tersebut cukup memberi penjelasan. Soal alasan adanya perubahan dana menjadi Rp 6,7 triliun dan tambahan Rp 1,2 triliun, kata Boediono, adalah kesalahan pemahaman. Bukan penambahan anggaran. Boediono mengatakan bahwa nasabah yang memiliki simpanan di bawah Rp 2 miliar akan dijamin apapun yang akan terjadi. Itu jaminan LPS kepada bank, kapada nasabahnya. Kemudian ada jalur PMS untuk menyelamatkan Bank Century yang jumlahnya Rp 6,7 triliun dan Rp 1,2 triliun. Itu jalurnya lain, aturannya juga lain.

Terkait masalah perubahan dana talangan PMS suatu bank, Boediono menyatakan sangat tergantung dengan perkembangan bank terkait dalam perkembangan proses likuidasi.

Perjalanan panjang kasus Bank Century ibarat sebuah opera yang terus bersambung dan belum mendapatkan kepastian hukum. Meski demikian KPK tetap optimis dapat menyelesaikan kasus tersebut hingga menemukan tokoh intelektual dibalik kasus tersebut. Ibarat suatu cerita dalam opera, sepanjang apapun pasti akan berujung.

Harapannya penangan kasus tersebut tidak hanya berhenti hingga Pemilu Presiden. Tidak dapat dipungkiri politisasi terhadap kasus Century tersebut juga sangat kental, dengan berbagai indikasi salah satunya adalah timing kasus Century tersebut kembali mencuat saat Indonesia sedang sibuk mempersiapkan pergantian kepemimpinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline