Lihat ke Halaman Asli

Sabri Leurima

Ciputat, Indonesia

Amburadul Saniri dan Kegalauan Masyarakat Adat Negeri Tulehu

Diperbarui: 20 Januari 2020   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat Negeri Tulehu di depan Rumah Bailelo. Sumber Fb Anak Muda Peduli Tulehu

Penetapan calon pemilihan raja di Negeri Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), secara demokratis memunculkan polemik yang tiada hentinya di kalangan akar rumput. Sejak 13 Januari 2020 kemarin diputuskan, banyak orang terutama masyarakat negeri Tulehu menganggap bahwa esensi dari negeri adat itu sendiri telah punah.

Hal ini diakibatkan para Saniri negeri yang tidak konsisten dengan sejarah dan garis lurus kepemimpinan raja yang ada di negeri Tulehu. Gamblangnya, ulah dari kebijakan saniri, masyarakat mulai resah dan putus harapan seperti diputus cinta oleh si gadis setelah sekian lama berhubungan.

Tadinya, calon raja hanya bisa dari garis lurus marga Ohorella. Kini mulai berlainan, siapa pun marganya bisa ikut terlibat untuk mencalonkan diri. Ok, biar kelihatan berdemokrasi walaupun warisan adat ditinggalkan.

Mengenai itu, berdasarkan keterangan rilis yang saya terima. Dimana rilis itu menjelaskan bahwa yang berhak menjadi raja ialah Ir. Hari Ohorella Putra Mahkota atau Kandung tertua dari Abdullah Ohorella, cucu kandung dari raja Ibrahim Ohorella, dan seterusnya. Secara hukum adat negeri Tulehu sangat berhak atas jabatan raja negeri Tulehu.

Sementara, penetapan dan pengukuhan Bapak Urian Ohorellah sebagai raja dinyatakan tidak sah dan bertentangam dengan hukum adat dan peraturan perundangan/perda, karena pengukuhan itu dilakukan oleh lembaga saniri ilegal yang tidak memiliki kekuatan hukum baik hukum adat maupun hukum positif yang berlaku.

Bahkan pengukuhan tersebut menggunakan dasar hukum Perneg No 02 Tahun 2011 yang terindikasi Perneg palsu. Seperti dikatakan Usman Umarella, bahwa pada 2011 lalu ia adalah ketua Saniri dan tidak sama sekali bersama timnya merangcang perneg tersebut.

Belum lagi bicara konsistensi dalam tubuh saniri negeri, sama sekali tidak menjunjung tinggi warisan pemerintahan adat yang telah digariskan sejak dulu. Mengacu pada jalannya demokrasi saya rasa sah-sah saja. Namun komitmen  sebagai negeri adat jangan dihapuskan.

Keempat nasab matarumah parentah negeri Tulehu kiranya perlu membangun suatu struktur kepercayaan yang mendalam pada masyarakatnya. Sehingga ruang publik tidak krisis kepercayaan. Amburadul pengambilan kebijakan yang keliru serta tidak menghormati warisan leluhur akan sangat berdampak pada hilangnya historia sejarah. Ini berbahaya untuk negeri adat, bukan hanya di Tulehu tapi di negeri-negeri lainnya.

Komitmen Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Malteng walaupun telah memfasilitasi dialog untuk menemukan titik terang. Senyata, dialog tersebut tengah melahirkan pro dan kontra di masyarakat. Ini juga berbahaya, jika proses yang sudah disepakati secara demokratis bisa aja menimbulkan konflik horizontal antar masyarakat. Saya takutkan hal demikian akan terjadi.

Bagaimana Membangun Solutif Alternatif?

Bila saya ditanya apa yang bisa anda lakukan untuk memperbaiki kekisruhan yang terjadi? Dengan lantang saya akan menjawab "buatlah dialog yang dimana secara keseluruhan masyarakat harus dilibatkan, tidak hanya keempat matarumah parentah saja". Kenapa, karena bila yang terjadi kekeliruan dalam pengambilan keputusan sejatinya yang terkena dampak adalah masyarakat itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline