Lihat ke Halaman Asli

Sabri Leurima

Ciputat, Indonesia

Belajar Manfaatkan Air Hujan dari Nenek

Diperbarui: 4 September 2019   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Ig yopiefranz

Musim kemarau panjang akan menjarah Ibu kota. Begitulah isi berita utama di salah satu media koran mainstream yang aku baca pertengahan pekan kemarin. Pastinya kebutuhan warga atas air akan bermasalah bila tiba saatnya kemarau menjemput.

Hari berikutnya suasana ibu kota terbentur dengan tiga isu hangat. Semua stasiun TV dan media online, cetak, turut meramaikannya, antara lain; Penistaan agama oleh UAS, rasisme terhadap mahasiswa Papua, dan pemindahan ibu kota ke Kalimantan.

Lupakan, soal Papua aku bisa bersolidaritas lewat tulisan yang akan saya tulis nanti. Pokoknya bagimana agar permasalahan air ini bisa menjadi konsen banyak orang. Terutama di Jakarta yang akan ditimpa bencana kekeringan," ucapku pelan dari mulut bibir.

Beberapa menit kemudian, ucapan itu mengajakku ke tempat tidur. Meniduri kasur berlapis seprei bergambar Ac Milan. Tubuhku tergeletak sejenak sambil memeluk bantal panjang.

Dalam perjalanan tidur, diri ini diterpa mimpi akan tibanya tanah air tercinta menjadi bangsa yang ramah ekologis dan ekofeminis. Banyak warga memamfaatkan air hujan sebagai alternatif solution dari ancaman bahaya kekeringan datang.

Di sela-sela belayar dalam lautan mimpi, terdengar bunyi dari atap genteng rumah. Aku pun langsung terbangun dan menolehnya, ternyata dunia luar sudah dibasashi hujan yang lebat. Kaca jendelaku sudah terlihat buram.

Tak ada lamunan lagi, aku segera ke dapur menyiapkan satu drum kosong dan beberapa ember. "Semoga hujannya akan berjalan lama sehingga bisa terisi penuh untuk kebutuhan sehari-hari," pintaku.

Suara petir dan kilat sering menyalurkan ekspresinya hingga membuatku kaget sekali-kali. Setelah usai menampung persediaan air, malam yang semakin dingin menggigil membuatku ingin kembali meniduri seprey Ac Milan dan ingin bermimpi lagi.

***

Di kantor organisasi non pemerintah tempatku bekerja sebagai volunter pada penguatan isu HAM dan demokrasi di daerah Mampang Prapatan. Kepekaanku terhadap isu hak atas air tetap menjadi konsentrasi. Ya, ini juga bagian dari prioritas kebutuhan hak asasi.

Ketika dalam perjalanan pulang menuju rumah nenek di Kebayoran Baru. Aku saat itu menggunakan Comutter Line. Disimpang rel kereta sepangjang perjalanan pulang, berbaris warga di sekitar daerah Tanah Abang sedang mengantri air bersih dengan memegan cergen besar ditangan. Selintas aku melihatnya dibalik jendela KRL.

Di rumah nenek yang terbilang lumayan besar dengan arsitek bangunan kolonial, dan banyak meja antik yang tertata rapih. Rumah nenek cocok untuk berfose selfie dengan kamera. Seperti dimasa jaman penjajahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline