Lihat ke Halaman Asli

Sabri Leurima

Ciputat, Indonesia

Jangan Dilarang, Berikan Ruang Ekspresi terhadap Orang Papua

Diperbarui: 22 Agustus 2019   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: facebook koran kejora

Gagalnya Indonesia dalam menghormati kebebasan berekspresi orang Papua sangat berakibat fatal munculnya proyek pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tak bisa terbendung. Padahal seharusnya kebebasan berekspresi diberikan ruang oleh pemerintah, selama itu tidak membuat keributan. Bukan justru melarangnya.

Orang Papua dapat diasumsikan sebagai kelompok paling rentang mendapat perlakuan diskriminatif, rasis, stigamtisasi dan kekerasan. Tak hanya itu, ruang kebebasan berekspresi yang sempit bagi mereka dan cara pandang lebelin masih tercap dalam pikiran orang Indonesia, apalagi yang tidak termasuk ras melanesian

Implikasi dari kekacauan pikiran pemerintah Indonesia dan masyarakatnya dalam memahami keluh kesah Papua dan Kepapuaan, berpotensi berujung pada degradasi kemajemukan bangsa dan menciptakan praktit dehumanisasi.

Kita bisa lihat cepat-cepat dari berbagai referensi, bagaimana tingkat pelanggaran HAM yang dialami orang Papua sangat memprihatingkan. Maka jangan heran ketika terikan kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri adalah pilihan politik yang paling tepat dilakukan.

Apa yang dialami teman-teman Papua di Surabaya, Malang, Ternate, Ambon, dan beberapa kota lain di Indonesia tengah menunjukan potret buruk negara Indonesia dalam menjamin tiap-tiap warganya untuk berhak mengeluarkan pendapat dimuka umum.

Saya tidak ingin berbicara, Bintang Kejora, OPM dan Sejarah Bangsa Papua. Namun penekanan yang saya maksudkan lebih memperhatikan hak asasi dasar manusia dalam kehidupan bernegara. Bagaimana kemudian impunitas masih berkuasa atas segalanya. Saya juga percaya bahwa bangsa yang demokratis adalah bangsa yang melawan praktik impunitas.

Seperti dilansir dari tirto.id United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), organisasi payung untuk gerakan politik kemerdekaan Papua, mencatat polisi menangkap 226 mahasiswa Papua pada demo 14-18 Agustus kemarin. Lokasi demo di Jayapura, Maluku, Surabaya, dan Malang.

Demo yang dilakukan mahasiswa Papua karena tidak sepakat dalam kesepakatan New York 1962. Beberapa korban penangkapan paksa dan kekerasan TNI-Polri dalam aksi peringatan cacatnya New York Agreement 15 Agustus 2019.

Total penangkapan berjumlah 226 orang. Terkena pukul berjumlah 39 orang.  Rinciannya, 11 orang ditangkap di Maluku. 16 orang ditangkap di Maluku Utara, 16 orang dipukul. Kota Jayapura 65 orang ditangkap. Kab. Jayapura 76 ditangkap. Malang 13 orang ditangkap, 23 orang dipukul. Dan Surabaya 45 orang ditangkap.

Bukan saja itu, rentetan peristiwa pembatasan kebebasan berekspresi mahasiswa Papua seperti yang dirilis tirto.id sepanjang 2017-2018, terkesan Indonesia sedang memperlihatkan daruratnya sistem demokrasi.

Pembubaran Diskusi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline