Lihat ke Halaman Asli

Sabri Leurima

Ciputat, Indonesia

Saya Pernah Hidup dengan Lampu Gas dan Bukan Listrik

Diperbarui: 9 Agustus 2019   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Facebook Pattimura Muda Maluku

Lampu gas atau Patromax Gas pernah berjaya dimasanya. Mungkin kalian yang lahir di era penjajahan, pra kemerdekaan, hingga akhir orde baru runtuh, sangat merasakan kejayaan itu. Ketika listrik belum terdistribusi merata ke seluruh penjuru tanah air, lampu gaslah yang selalu memberikan cahaya ketika gelap datang. Saya tidak menjelaskan detail asal muasal lampus gas, hanya sepenggal pengalaman saja yang saya sodorkan.

Nostalgia seperti ini, bagi saya seolah-olah memberikan kesan fantastis pada lampu gas. Bahwa hidup tanpa listrik bukan hal yang tabu, kita sebagai bangsa sudah mengalami hal semacam itu. Tiba-tiba 12 jam dikejutkan dengan padamnya listrik di Jakarta dan Sebagian Pulau Jawa, masyarakat mulai baper, Presiden ikut ngambek, hingga layar televisi menjadikannya sebagai trending topik. Sementara PLN meminta korban dari peristiwa itu agar ihklas kemudian PLN menyalahkan pohon dan layangan.

Sejak dilahirkan ibu saya pada era 90-an atau pada masa Soeharto masih kokoh dipuncak klasemen otoritarian. Hidup kami dicerahkan dengan sebuah lampu berisikan minyak tanah yang harus dipompa dulu, baru nyala. Ya, pandangan itu jelas tersimpan dalam kepala ketika waktu itu ayah saya berangkat melaut menggunakan perahu gayung selepas Sholat Magrib.

Rutinitas cahaya lampu gas selalu menerangi rejeki atau tidaknya, ketika ayah saya sedang melaut diwaktu malam hari dan pulang pada saat pagi hari. Para nelayan dikampung saya semuanya memakai lampu gas dan merupakan bagian dari ekosistem keluarga pada malam hari untuk membantu penerangan, sungguh berjayanya bagi kami saat itu.

Pada masa 90-an memang listrik sudah masuk dikampung saya yang terletak di Maluku Tengah, tetapi dengan berjadwal atau bergiliran. Seingat saya, pagi hari hingga akhir Ibadah sholat Isya lampu listrik akan nyala. Sedangkan padamnya saat malam selepas sholat Isya hingga sang fajar menunjukan eksistensinya. Ini krusial tapi kita sudah terbiasa.

Orde baru memang sangat membatasi ruang gerak warganya ketika diwaktu malam hari. Dengan apa, dengan memadamkan listrik yang secara rutin. Pengalaman ini saya dapatkan, ketika waktu belajar dimalam hari. Saya hanya menggunakan lampu pelita. Siang hari suara musik melalui kaset rool baru bisa terdengar. TV kala hanya dimiliki segelintir kelas atas.

Apa yang terjadi pada, Minggu, 04 Agustus 2019 kemarin, warga Jakarta terlalu lebay menganggapnya. Iya sih, karena mungkin belum terbiasa hidup tanpa listrik to! Ditambah lagi bisnis mereka takut mendapat rugi. Pelayanan publik terkendala, sehingga pemerintah/PLN terbilang gagal dalam mengelola manajemen sistem kelistrikan.

Apa yang saya ceritakan diawal, hanya sebuah nostalgia. Bahwa saya pernah hidup tanpa listrik selama bertahun-tahun dimasa sang jendral Soeharto sebagai Presiden. Jadi sangat itsokay dan tidak baper tuh. Minggu kemarin juga ketika Jakarta diterpa musibah padamnya listrik, hendak saya pergi membeli nasi goren. 

Eh, ternyata nasi goreng yang saya beli di tukan penjual nasi goreng bergerobak kecil terlihat lampu gas sedang menerangi penjual. Kejadian itu langsung membawa saya ke masa lalu melalui ingatan. Sungguh nostalgianya sampai tiba dikosan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline