Dunia perfilman di Indonesia kian hari makin berkembang pesat. Sebagai salah satu seni dramatis serial film terus membuka kacamata publik dengan adegan-adegan penuh sensasional. Latar belakang dari sebuah karya film tak lain untuk menceritakan realitas publik, adakalah juga sebagai fiksi. Namun peran dunia perfilman sering memunculkan pandangan diskriminatif. Di ceritakan lewat adegan dan pemeran utama, film kerapkali memperlihatkan bentuk-bentuk diskriminasi gender yang sejak lama terbangun.
Sebagai orang yang kritis, sosok Perempuan menjadi icon utama diskriminasi dalam sebuah film horor. Kita semua pasti tahu perempuan adalah tokoh utama dibalik cerita film yang berlatar bekalang horor. Pertanyaannya kenapa harus perempuan? dan Kenapa bukan Fadli Zon atau lebih lagi Wiranto dan Prabowo, yang jelas-jelas mereka lebih horor dalam dunia nyata.
Semenjak Serial Kuntilanak pertama kali saya tonton dimasa kecil, sosok Perempuan yang kita kenal adalah "Susana". Hantu horor perempuan ini sering menjadi sosok menakutkan bagi kami masa itu. Sehingga terbayang dalam sosial bahwa perempuan seperti Susana adalah hantu yang menakutkan. Belum juga, kisah horor Sundelbolong. Saya pertama kali menonton film ini, membuat saya menjadi takut dengan makan bakso atau mie. Karena dibalik cerita itu, Bakso atau Mie iddentik dengan makanan Sundelbolong yang bertaburi belatung.
Masih banyak film lainnya yang latar belakang Perempuan sebagai sosok menakutkan. Maklampir, Nenek Sihir, Suster Ngesot, dan Nyilorokidul. Sosok-sosok ini adalah bagian konstruktif yang diskriminatif terhadap kaum hawa. Selain horor, berbagai adegan seksisme juga diperlihatkan. Horor perempuan dan seksisme adalah bagian skema patriarki dibalik seni perfilman. Menandakan patriakri tidak hanya tumbuh di tatanan konservatif namun berkembang melalui sebuah karya seni.
Perempuan semestinya mendapat perlakukan yang sama, acapkali di perlakukan diskriminatif ketika sebuah seni ingin memperoleh nilai profit. Pola seperti yang kemudian ruang-ruang diskriminatif tumbuh dan berkembang bagi pemirsa yang menyaksikan serial film horor. Padahal jelas-jelas bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perempuan sebagai bagian dari mahluk ciptaan Allah SWT. Ia bukanlah alat atau korban penghasil keuntungan semata, tetapi perempuan merupakan instrumen lahirnya sebuah peradaban.
Senyata, ladang diskriminatif begitu masif, dari saya masih kecil hingga sekarang diskriminatif rentang menyasar ke kaum hawa. Apa salah mereka?bukannya pengalaman bangsa Jahiliyah adalah penghinaan terburuk bagi kemanusiaan. Diskriminatif terhadap perempuan jangan dijadikan sebagai aktivitas candaan. Karya film pun demikian harus mengdepankan nilai-nilai anti diskriminatif. Seharusnya memang seperti begitu.
Karya seni perfilman akan indah bila kolom diksriminatif dan seksisme bukan jadi bahan olok-olokan narasi dalam sebuah naskah cerita. Tak boleh dianggap biasa saja. Bagi saya ini permasalah serius bangsa Indonesia, yang itu merupakan tanggunjawab kita untuk memperbaikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H