Sebagai identitas makanan pokok orang Maluku, Sagu ternyata di pergunakan Masyarakat Desa Tengah-Tengah, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, sebagai zakat fitrah sekaligus menunaikan Rukum Islam Ketiga. Tradisi ini sudah dari jaman leluhur hingga sekarang masih di lestarikan.
Biasanya di Desa Tengah-Tengah, Zakat sagu dikeluarkan ketika besoknya adalah pelaksanaan sholat idul fitri. Zakat sagu yang di siapkan oleh tiap rumah, kemudian diberikan ke yang berhak menerimanya. Zakat-zakat ini pun bervariatif selain diberikan kepada manusia, zakat sagu untuk harta benda, masjid, dan hutan diprioritaskan. mengingat semuanya mempunyai peran penting bagi masyarakat desa Tengah-Tengah.
Saya tidak tahu desa lain tapi yang jelas Desa Tengah-Tengah masih menggunakan zakat Sagu sebagai bentuk pensucian diri selama 30 hari menjalankan ibadah puasa. Amanah leluhur ini terus dilaksanakan seperti sabda Nabi Muhamad SAW, " Tidak ada iman yang sempurna bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah dan tidak ada agama yang sempurna bagi orang yang tidak menepati janji". (riwayat Ahmad).
Amanah memiliki arti terpercaya atau dipercaya, sementara bila dilihat dari sisi aqidah dan syariat agama, amanah adalah sesuatu yang harus dipertanggunjawabkan. Zakat sagu yang masih dilestarikan adalah sebuah amanah leluhur dan juga edukasi dari sabda nabi yang harus dipertanggunjawabkan oleh kita semua ana cucu desa Tengah-Tengah.
Zakat Sagu atau Politik Beras?
Perubahan jaman kian masif hingga nilai-nilai tradisi hilang begitu cepat, salah satunya pola makan. Sagu sebagai makanan pokok dan juga identitas orang Maluku kini terkikis dengan hadirnya politik beras. kebijakan ini tentu merubah drastis pola komsumsi dari yang dulu ke yang modern. Jaman sekarang menuntut anda untuk bergaul sedemikian globalnya dan bila tidak? anda akan dikatakan kuno.
Kembali lagi, selain Sagu dijadikan sebagai zakat tak menutup kemungkinan sudah banyak yang menggunakan beras sebagai alternatif zakat, bahkan di desa Tengah-Tengah pun sudah terjadi. Ada yang masih menjaga tradisi, ada juga yang sudah keluar dari tradisi. Saya tidak memperdebatkan logika kedua bahan pangan itu, hanya saja politik beras adalah kebijakan anti tradisional.
Bicara sagu dan Beras tentu ada dua nilai yang di dapat, pertama nilai tradisional dan yang kedua nilai modernis. Walau keduanya sama mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia, namun beras bukan identitas abadi melainkan sebuah kebijakan pemerintah dalam upaya menghancurkan tradisi lokal.
Sagu sebagai lambang kesuburan, kekayaan dan identitas, harus terus di perhatikan dalam upaya penghormatan terhadap ajaran para leluhur. Memberikan zakat sagu artinya mengingatkan kembali betapa kayanya negeri ini, dan sagu merupakan harta tak ternilai lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H