Lihat ke Halaman Asli

Antara Tradisi dan Modernitas: Mitos Statisnya Masyarakat Adat Tobelo Dalam

Diperbarui: 7 Oktober 2024   10:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: ERAMET

Memandang sebuah masyarakat manusia laiknya preparat atau spesimen dalam tabung vakum percobaan ilmiah, bukan saja tidak bisa, melainkan salah sama sekali. Kesalahan fatal, yang bila mengutip Pramoedya Ananta Toer tergolong "sejak dari pikiran". Masyarakat atau komunitas manusia juga tak bisa diasumsikan memakai dogma "ceteris paribus" dalam ilmu ekonomi, yang dalam realitas pun sejatinya tak pernah terbukti.

Dengan demikian, berharap satu masyarakat manusia tetap tak mengalami perubahan adalah kesia-siaan, bahkan boleh dibilang mustahil. Manusia dan kehidupannya nyaris 100 persen memenuhi diktum purba yang dikemukakan flsuf Yunani Herakleitos, "Panta rei---semua mengalir, segalanya berubah".

Demikian pula dengan suku Tobelo Dalam (O'Hongana Manyawa) yang tinggal di pedalaman Halmahera Utara. Terlalu naif berharap masyarakat tersebut tetap statis dalam keterbelakangan mereka sebagaimana abad ke-17 lalu. Sementara, data sejarah pun menegaskan, pada akhir abad 18 sudah banyak di antara orang-orang Tobelo yang menjadi bagian pasukan Sultan Nuku. Tentu saja, mereka juga memakai seragam laiknya prajurit Tidore lain. Artinya, saat itu mereka pun sudah berpakaian layaknya anggota komunitas lain yang telah menikmati peradaban.

Memang sering terjadi keganjilan berupa falsifikasi (pemalsuan atau manipulasi), bahkan dari pihak -pihak yang seharusnya menjaga kebenaran. Misalnya, yang terjadi pada bangsa Indian, terutama yang mendiami wilayah-wilayah yang kini disebut Amerika Serikat pada akhir abad 19. Pada saat itu sejatinya kaum Indian---apalagi yang berada di reservasi---sudah berpakaian modern. Namun di media, tampaknya ada desakan untuk tetap menegaskan bahwa mereka belum lagi berpakaian 'layak' laiknya orang-orang modern.

Hal itu dikuatkan dengan banyak hal. Fotografi dan seni yang dibuat selama abad ke-19 seringkali menampilkan penduduk asli Amerika dalam pakaian tradisional mereka, meskipun mereka sebenarnya berpakaian ala Barat. Fotografer seperti Edward Curtis, misalnya, kadang-kadang meminta subjek untuk mengenakan pakaian tradisional mereka guna menciptakan gambaran yang "otentik", meskipun mereka biasanya mengenakan pakaian modern pada kehidupan sehari-hari.

Propaganda pemerintah Amerika Serikat saat itu juga memiliki kepentingan untuk menggambarkan penduduk asli Amerika sebagai "primitif" untuk membenarkan kebijakan asimilasi ketat yang mereka berlakukan. Gambar-gambar yang menunjukkan orang Indian dalam "pakaian tradisional" sengaja disebarluaskan untuk menegaskan perbedaan budaya yang perlu "diperbaiki" melalui pendidikan dan asimilasi. Belum lagi penyajian dalam pertunjukan. Pada pertunjukan seperti Buffalo Bill's Wild West Show, penduduk asli Amerika sering kali diperlihatkan mengenakan pakaian tradisional untuk memenuhi ekspektasi penonton, meskipun di kehidupan nyata mereka sudah berpakaian modern.

Itu pula yang terjadi pada suku Tobelo Dalam.

Pengamatan Antropolog Christopher Duncan pada warga Tobelo Dalam yang disampaikan dalam artikel di The Asia Pacific Journal of Anthropology tahun 2001, berjudul "Savage imagery: (Mis)representations of the Forest Tobelo People", menunjukkan hal itu juga terjadi di Halmahera utara.

Berkaitan dengan urusan fulus, Duncan mencatat, seorang pegiat gereja menyelipkan foto orang-orang Tobelo Dalam yang hanya bercawat dalam proposal yang dia kirimkan ke lembaga gereja dunia.

"Saya berkali-kali mengunjungi Dororam dan melihat hanya dua laki-laki paruh baya yang hanya bercawat. Para perempuan pun tidak pernah tidak memakai baju," tulis Duncan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline