Lihat ke Halaman Asli

Warga Tobelo dalam di Antara Citra Buruk dan Realitas Perubahan di Dalam

Diperbarui: 6 Agustus 2024   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Warga Tobelo Dalam di Antara Citra Buruk dan Realitas Perubahan di Dalam"

Jika seniman teater plus aktivis hak-hak perempuan asal Amerika Serikat, Eve Ensler, bilang bahwa penamaan itu sama sekali tidak pernah bebas nilai, tampaknya sukar untuk menafikan kebenaran ucapannya itu. Realitas keseharian kita pun menunjukkan pemilihan nama dan penyebutan tak jarang dilakukan pihak tertentu untuk memberi stereotip kepada yang ditunjuk. Dalam istilah Ensler, bahasa dan pemberian nama memberikan pengaruh besar terhadap persepsi dan realitas yang kita indra.

Lebih jauh, menurut Sosiolog dan Ahli Teori Kebudayaan Prof. Stuart Henry McPhail Hall, stereotip pemaknaan pihak lain dalam format binary (ditandai oleh dua benda atau dua bagian) membuat "mereka" kerap dikeluarkan dari  tatanan "normal dan media menjadi salah satu agen yang turut mereproduksi pemahaman itu.

Pencitraan yang kerap tidak sesuai dengan  realitas empiris.

Misalnya penyebutan kata "Samin" di kalangan masyarakat Jawa yang berkonotasi negatif, yakni "pemberontak", "keras kepala", "tambeng", untuk istilah "Sedulur Singkep" atau "Wong Singkep", yang dipilih oleh para "penganut"-nya.

Hal serupa terjadi pula di banyak komunitas adat, misalnya Suku Anak Dalam yang menolak sebutan "Orang Kubu". Juga di Halmahera, ketika warga Suku Tobelo Dalam (O'Hongana Manyawa) menolak sebutan "Suku Togutil" yang banyak ditulis orang-orang di luar mereka.

Persoalannya, kata "Togutil" sudah lama digunakan sebagai sebutan yang mengandung banyak prasangka negatif bagi Suku Tobelo Dalam. "Togutil" telah lama membawa makna orang-orang malas, tak pernah atau jarang mandi, emosional, dan memandang biasa laku pembunuhan. Bahkan hingga anggapan sebagai kanibal yang tentu sangat tak nyaman buat warga Tobelo Dalam.

Padahal, kata Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Syaiful Madjid, kata "Togutil" sebenarnya sebutan yang awalnya dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, yang pernah tinggal lama bersama  warga Tobelo Dalam di belantara Halmahera. Mengutip disertasi Platenkamp, "Tobelo: Ideas and Values of a North Moluccan Society", Syaiful menegaskan bahwa Platenkamp telah mendokumentasikan secara mendalam adat-istiadat, sistem kepercayaan, dan struktur sosial masyarakat Tobelo.

"Platenkamp pernah tinggal lama di kompleks Dufa-Dufa, Tobelo, Halmahera Utara. Ia juga lama menelusuri dan tinggal di Kampung Kusuri hingga Iga Labi-Labi," ujar Syaiful. Nama-nama tempat yang disebut Syaiful itu dikenal sebagai kawasan hunian kaum Tobelo Dalam.

"Togutil" sendiri, kata Syaiful, datang dari bahasa Tobelo, yakni dari kata "O 'Tau Gutili" atau rumah pengobatan. Karena itu, Syaiful mengaku tidak suka dengan penggunaan istilah tersebut untuk menunjuk warga Tobelo Dalam.

"Saya juga tidak suka dengar orang bilang warga Tobelo Dalam itu primitif. Mereka berbudaya dan punya makna soal kehidupan, mereka punya sistem nilai dan kepercayaan," ungkap Syaiful, yang di masa kecilnya tinggal di Dodaga, Halmahera Timur, tempat masyarakat Tobelo Dalam atau O'Hongana Manyawa bermukim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline