Lihat ke Halaman Asli

Suku Anak Dalam di Antara Butet Manurung dan Warsi

Diperbarui: 14 Desember 2021   15:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di hari-hari manakala persoalan Suku Anak Dalam, biasa disebut juga sebagai Orang Rimba atau Orang Kubu, kembali meramaikan pemberitaan media massa seperti saat ini sukar untuk menolak pikiran yang terbersit di benak merujuk kepada satu nama: Butet Manurung.
 
Seperti kita tahu Suku Anak Dalam sudah mulai dikenal "orang beradab" sejak terbitnya buku Dr. Bernhard Hagen yang berjudul "Die Orang Kubu auf Sumatra" pada tahun 1908 dan terlebih lagi pada tahun 1930 dengan munculnya foto hitam putih sekelompok masyarakat adat Suku Anak Dalam (saat itu masih disebut Orang Kubu).
 
Tetapi sukar untuk dibantah bahwa yang membuka mata dunia, menyadarkan nasib kelam Suku Anak Dalam, apalagi ketika muncul pula film layar lebarnya yang popular dan lebih menyentuh banyak kalangan karena bukan film dokumenter, adalah karena kiprah Butet Manurung yang hidup di tengah-tengah Suku Anak Dalam.
 
Sebagai seorang antropolog muda yang menyukai alam, Butet Manurung bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif melakukan pendampingan dan advokasi kepada Suku Anak Dalam yaitu Komunitas Konservasi Indonesia Warung Informasi Konservasi (KKI Warsi) pada tahun 1999.
 
Meski penuh tantangan, antara lain karena harus menyatu dengan komunitas yang didampingi (Suku Anak Dalam), Butet tak pernah menunjukkan bahwa dirinya kecewa karena salah memilih kiprah. Alih-alih jatuh mental sebagai orang kota yang harus tinggal bersama Suku Anak Dalam di hutan, sejak awal pun Butet justru memperlihatkan rasa senangnya bergabung dengan Warsi.
 
"Buat saya pekerjaan sempurna itu melibatkan otot, otak, dan hati. Tidak boleh ada yang ketinggalan," kata Butet, menegaskan rasa senangnya bergabung dengan Warsi.
 
Hal itu, "Karena sejak kecil saya bercita-cita ingin bekerja di tengah hutan, gunung atau apa saja, yang penting di tengah alam. Saya sangat takut bekerja di dalam kantor dan duduk melulu," jelas Butet, sebagaimana dikutip sebuah media.
 
Di bawah naungan dan atas nama Warsi, empat tahun lamanya Butet berkiprah total mengabdikan diri untuk komunitas Suku Anak Dalam. Sampai pada 2003 ia keluar dari Warsi dan memilih berkiprah atas namanya sendiri dengan membangun Sokola Rimba.
 
Artinya, setelah empat tahun, Butet justru merasa lebih nyaman untuk kembali ke titik nol, membangun dari bawah lagi, daripada meneruskan aktivitas yang tentu telah lebih ajek dan secara logistik pun pastinya lebih aman dan nyaman bersama Warsi.
 
Dengan berjalannya waktu kita tahu Butet seorang setia dan loyal. Selama ini nyaris tak ada keluhan terbuka tentang apa yang membuatnya hengkang dari Warsi.

Kepada kompas.com Butet hanya mengatakan alasan keluarnya dari Warsi karena ia merasa perlu "berbuat lebih dari sebatas menyusun rekomendasi kebijakan kepada pemerintah mengenai Orang Rimba."
 
"Bila pemerintah tak mampu membuat sekolah yang sesuai kebutuhan Orang Rimba, bukankah kita bisa menciptakannya sendiri? Kalau tak ada yang bisa melindungi Orang Rimba dari perambah hutan, mengapa tidak kita mampukan saja mereka melawan dan melindungi diri sendiri?" katanya kepada kompas.com.  
 
Pada kesempatan lain, kepada situs berita kumparan Butet berkata, "Jika sebuah program atau bantuan didasarkan pada persepsi sepihak, yang terjadi adalah penaklukkan karena kita memaksakan kepada mereka untuk memakai ukuran-ukuran kita."  
 
Sebagai orang yang langsung berinteraksi dan hidup bersama Suku Anak Dalam, Butet tampaknya kurang sepakat dengan program yang dibuat secara "top down".

Sebagai contoh Butet bercerita bahwa di Jambi ia melihat bagaimana rumah-rumah bantuan untuk Suku Anak Dalam, laiknya seperti pemaksaan Suku Indian di Amerika Serikat untuk menempati reservasi, malah ditinggalkan. Bahkan atapnya dijual dan dinding kayunya dijadikan kayu bakar.
 
"Mengapa proyek-proyek itu sering gagal? Karena si pembawa program sudah gagal memahami sejak awal. Tragisnya, setelah gagal, yang sering disalahkan adalah komunitas Suku Anak Dalam. Para pejabat dan orang kota menganggap komunitas itu boros, malas, dan tidak bisa menabung," papar Butet.
 
Meski demikian, seorang pegiat konservasi di Jambi yang memilih disebut anonim, mengatakan bahwa alasan hengkangnya Butet dari Warsi jauh lebih mendasar. Butet, yang dikenalnya selama sama-sama berkiprah di dunia konservasi di wilayah Jambi, adalah sosok yang sangat idealis.
 
Sisi idealismenya Butet itu sangat mungkin bila dianggap terlampau keras dan kaku, bahkan oleh senior-seniornya sendiri.

"Butet sejak kecil dibesarkan dalam keluarga berada, sehingga niatnya berkiprah di dunia konservasi jauh lebih tulus dibanding para seniornya," katanya.
 
Dari beragam rumor yang sempat berseliweran saat itu, sempat tersiar kabar bahwa secara pribadi Butet merasa lembaga yang menaunginya saat itu kurang independen, terutama dalam hubungan dengan lembaga donornya di luar negeri, Rainforest Foundation Norway (RFN). Ia sendiri yakin hal itulah yang kemungkinan besar mendorong Butet untuk keluar dan mendirikan Sokola Rimba.
 
"Namun apapun alasannya, hari ini kita tahu keputusan Butet itu (pergi meninggalkan Warsi) tepat sekali," tambahnya.
 
Sokola Rimba lah yang kemudian membuat nama Butet Manurung menasional, dikenal secara luas di Indonesia, bahkan mendunia.

Tidak hanya terpilih sebagai tokoh di berbagai ajang penghargaan nasional, Sokola Rimba pun mengantarkan Butet meraih gelar "Heroes of Asia 2004" dari Majalah TIME Asia. Di tahun yang sama pun Butet terpilih sebagai peraih Ramon Magsaysay Award, penghargaan prestisius yang dianggap semacam Hadiah Nobel versi Asia.

Belakangan persoalan yang terjadi hampir dua dekade lalu itu menjadi lebih jelas, justru karena suara dari Suku Anak Dalam sendiri.

Menurut pengakuan warga Suku Anak Dalam, Mijak Tampung, kepada media lokal jernih.id di Jambi pada tahun 2000, sebelum kedatangan Butet, seorang antropolog Warsi menyatakan akan datang seorang pengajar untuk memberi kesempatan belajar kepada warga Suku Anak Dalam.
 
"Yang datang sebagai pengajar ternyata Butet Manurung," kata Mijak.

Butet lah yang kemudian menjadi pengajar baca-tulis-hitung kepada warga Suku Anak Dalam.

"Kami bersemangat sekali untuk belajar bersama Butet," ungkap Mijak.
 
Sayangnya, semua hanya bertahan sampai tahun 2003 karena ternyata Warsi tidak mendukung program pendidikan itu untuk berkelanjutan padahal warga Suku Anak Dalam sendiri sedang semangat-semangatnya belajar bersama Butet.

"Tahun 2003 itu Butet keluar lalu mendirikan Sokola Rimba dan kami mengikutinya dengan gembira," jelas Mijak.
 
Menurut Mijak, kekecewaan warga Suku Anak Dalam kepada Warsi tidak hanya urusan pembelajaran yang diputus di tengah jalan saja.

Yang tidak kalah membuat warga SAD kecewa adalah tidak sejalannya Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) dengan keinginan warga Suku Anak Dalam.
 
Mijak mengakui Warsi cukup berjasa memperluas area TNBD yang awalnya pada tahun 1984 seluas 29.485 hektare menjadi 60.500 hektare pada 23 Agustus 2000 melalui keputusan Menteri Kehutanan RI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline