Bagi banyak warga Provinsi Jambi, peristiwa mengenaskan yang terjadi pada 2015 itu masih menjadi kenangan buruk yang sukar dihapus: belasan warga Suku Anak Dalam mati kelaparan di kawasan hutan, habitat tempat mereka lahir, hidup, dan mencari makan.
Ternyata ini bukan lagi negeri yang lebih setengah abad lalu dipuji-puji Koes Plus dalam syairnya sebagai "tanah surga", tempat "tongkat kayu dan batu jadi tanaman...."
Menurut penuturan seorang fasilitator bernama Yomi dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang lama melakukan pendampingan terhadap Suku Anak Dalam, kematian beruntun warga Suku Anak Dalam itu karena kelaparan dan sulitnya air bersih untuk minum.
Tiga rombong (kelompok) Suku Anak Dalam pimpinan Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal, dan Tumenggung Nyenong terpaksa melangun, pindah dari area sebelumnya karena adanya kematian warganya.
Persoalannya, bila di masa lalu melangun mudah dilakukan dengan memasuki kawasan hutan lain, saat ini ketiga rombong itu terjebak dalam kawasan hutan yang makin sempit. Mereka pun mau tak mau hidup di pinggiran hutan, tepi-tepi desa, dan ladang masyarakat pendatang yang kalau pun mereka tuai tentu mendatangkan persoalan.
Akibatnya bencana kelaparan pun menyergap rombong tersebut.
Belum lagi fakta pilu tertangkapnya sekian banyak warga Suku Anak Dalam sedang mengemis di Kota Jambi. Saat ditanya mengapa mereka dilanda bencana kelaparan sampai harus mengemis, jawaban dua kelompok berbeda di dua tempat berlainan itu sama: "Hutan habis, makanan kami juga hilang!"
Yang lebih membuat kita mengelus dada, malu membiarkan ada anak bangsa meninggal karena lapar, kedua peristiwa itu dengan cepat menjadi kabar mendunia. Soal kelaparan segera menyebar ke seluruh dunia sebagai berita buruk saat dimuat oleh banyak media arus utama. Sementara fakta tertangkapnya warga Suku Anak Dalam yang tengah mengemis itu tertuang dalam laporan LSM internasional, Human Rights Watch, tahun 2019 lalu.
Untuk negeri sesubur Nusantara dengan adanya fakta kematian karena kelaparan sudah barang tentu harus menjadi pertanyaan besar. Pasalnya menjadi keniscayaan bahwa setiap kelompok manusia, sesederhana apa pun kehidupan mereka, pasti memiliki sistem pangan.
"Sistem pangan adalah seluruh kaitan aktivitas pangan dari hulu ke hilir, dari produksi, pengolahan, distribusi, konsumsi, hingga pembuangan," kata Hayu Dyah yang dikenal sebagai seorang peneliti pangan lokal (terutama tanaman pangan liar) dari Mantasa, sebuah LSM yang meneliti sistem pangan di Suku Tengger.
Menurut Dyah, seiring waktu sistem pangan di dunia makin tergantung pada beberapa komoditas saja.
Riset Badan Pangan PBB (FAO) mencatat ada 7.000 tanaman yang bisa dikonsumsi sebagai pangan tapi hanya 150 tanaman saja yang dikembangkan.
"Dari jumlah itu hanya 103 jenis tanaman yang secara signifikan menopang sistem pangan manusia," kata Dyah dalam sebuah diskusi daring bertajuk "Sistem Pangan Masyarakat Adat, Kedaulatan Pangan, dan Ancaman Omnibus Law" pada bulan Oktober 2021 lalu.
Sebagai komunitas yang telah ada sejak beratus tahun lalu, Suku Anak Dalam pun tentu saja memiliki sistem pangan mereka sendiri.
"Masyarakat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba memiliki ketergantungan kuat dengan hutan. Mereka merasa bahwa makanan mereka yang 'disediakan' hutan mencukupi," kata Aditya Anindita yang Biasa dipanggil Indit, salah satu pendiri Sokola Rimba, LSM yang melakukan pendampingan pembelajaran baca-tulis-hitung pada anak-anak Suku Anak Dalam sejak awal tahun 2000-an.
Semua itu, menurut Indit, dimungkinkan karena kondisi "Rimba Bungaron Raya", hutan habitat komunitas Suku Anak Dalam sejak lama, dulunya sangat berlimpah dengan hasil hutan.
Hutan yang masih luas dan jarak antarkelompok yang jauh membuat hasil hutan, baik tanaman maupun hewan, sangat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari warga Suku Anak Dalam.
Selain itu mereka pun memerlukan beberapa barang yang tidak dapat dihasilkan hutan seperti garam dan kain. Namun semua itu bisa diperoleh dengan cara bertukar (barter) yang kerap dilakukan melalui Jenang, petugas perantara warga luar hutan dengan Orang Rimba yang ditunjuk sejak zaman Kesultanan Jambi.
Sebaliknya warga Suku Anak Dalam atau Orang Rimba juga kerap dimobilisasi para Jenang untuk membawa keluar hasil hutan seperti rotan, getah karet, dan jernang sebagai upeti untuk Kesultanan Jambi saat itu.
Sejatinya, kata Indit, kehidupan warga Suku Anak Dalam tidaklah nomaden, melainkan tinggal.