Sejarah crossgender sebenarnya sudah ada dari zaman dahulu. Hampir setiap daerah di Jawa punya tradisi ini. Bahkan di era penjajahan di Banyuwangi dan di Jawa Barat, seni crossgender menjadi sangat bermanfaat untuk para pejuang gerilya yang akan melawan Belanda. Mereka jadi semacam telik sandi yang menyamar menjadi penari perempuan.
Seni crossgender di keraton dan berbagai daerah digunakan untuk ritual. Karena mayoritas masih menganut animisme, sementara wanita jika menstruasi tidak boleh melakukan ritual. Akhirnya tarian tersebut dimainkan laki-laki.
Salah satu pelestari tarian crossgender adalah Didik Nini Thowok. Dalam sebuah interview, Didik mengatakan bahwa sekitar tahun 70 an, seorang laki laki yang menarikan wanita, dianggap banci. Banyak yang melecehkan, bahkan, dosennya pun pernah mengatakan ia merusak tari karena menarikan tari putri. Didik menekankan bahwa tari crossgender bukanlah asal penari laki-laki menari perempuan. Ada filosofi yang lebih dalam lagi dan sebagainya.
Tekanan yang diberikan baik dari orang tua maupun masyarakat membuat individu-individu yang berbakat tidak berkesempatan mendapat edukasi yang benar, yang pada akhirnya membuat mereka memilih jalan yang salah. Kenyataannya banyak stylist, ahli make-up film, atau desainer top dunia adalah crossgender. Tapi di Indonesia, hal seperti itu kemudian diharamkan dan akan menjadi sensitif karena dikaitkan dengan politik dan agama.
Kurangnya edukasi dalam masyarakat menanamkan stigma yang salah terhadap pria yang menari. Seni budaya butuh diedukasi sejak kecil. Jika kita selalu bilang tabu, sampai besar anak-anak hanya tahu bahwa itu tidak boleh.
Padahal pasti ada alasan kenapa ada orang melakukan itu, sehingga perlu diteliti lebih lagi. Dalam seni tradisi, crossgender bukan sesuatu yang perlu dipolitisir. Karena tradisi itu ada dari zaman dulu di konteks kesenian.
Millennials memegang peran yang cukup besar dalam mendobrak stigma yang sudah terbentuk di masyarakat sejak dahulu kala. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menunjukkan prestasi dalam bidang tersebut dan membuktikan bahwa pria yang menari bukan berarti adalah banci.
Salah satu contohnya adalah Otniel Tasman. Lahir pada tahun 1989, Banyumas, Jawa Tengah, Otniel menyaksikan pertunjukan lengger pertamanya tarian tradisional khas daerah tersebut pada usia 5 tahun. Ia mempelajari seni tari di ISI Surakarta pada tahun 2007 sampai 2014. Koreografi sebagai tugas akhir yang dipentaskan dalam salah satu program Dewan Kesenian Jakarta digelar di TIM pada 2014 lalu. Sejak saat itu, namanya kian berkibar dan tampil di festival-festival mancanegara.
"Saya selalu ingat saat para penari lengger bersiap-siap untuk tampil. Itu memicu antusiasme saya, dan saya mulai mencoba mengekspresikan apa yang saya lihat dengan berkompetisi dalam kompetisi dangdut, "kenang Otniel setelah menampilkan karyany, Cablaka, di pusat seni dan budaya Komunitas Salihara di Jakarta Selatan pada tahun 2018.
Sebelum Cablaka, beberapa karyanya telah mendapat pengakuan internasional, termasuk Lengger Laut (2014) dan Nosheheorit (2017), keduanya tampil di Festival Seni Europalia pada tahun 2017 di Belgia.
Menggabungkan elemen lengger dan dangdut koplo, Cablaka adalah bagian yang mencolok di mana gerakan penari dapat digambarkan sebagai "erotis", menghadirkan dualitas pelengkap energi maskulin dan feminin. Otniel mengatakan bahwa Cablaka menggambarkan sikap orang-orang Banyumas: "lugas, transparan, mengikuti arus, namun kuat dalam ketabahan mereka".