Lihat ke Halaman Asli

Perlunya Suami Memberi "Me Time" Untuk Istri

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan perdana saya ini, saya dedikasikan untuk para ibu dimanapun berada, yang sudah sangat luar biasa menjalankan perannya sebagai seorang istri pendamping suami, sekaligus ibu bagi anak-anak tercintanya. Saya berharap menjadi catatan yang bisa diambil hikmahnya.

Pernah ga sih, satu hari saja anda para suami membayangkan bertukar peran dengan istri? Menggantikan pekerjaannya, menjaga anak, membersihkan rumah, memasak, dan seabrek tugas domestik lainnya yang biasa istri anda kerjakan. Pasti belum-belum yang terbayang adalah satu hal, REPOT!

Coba deh luangkan waktu sebentar saja, sesekali lihatlah rutinitas pekerjaan istri yang juga ibu dari anak-anak kita. Kalau dipikir-pikir, pekerjaan mereka itu adalah pekerjaan yang menjemukan lho. Bagaimana tidak, pagi, siang, sore, malam, yang dihadapi hanya seputar dapur, sumur, kasur. Begitu setiap harinya. Apalagi bagi para ibu yang tak punya asisten. Semua harus dikerjakan sendiri.

Idealnya suami tidak membebankan semua urusan tetek bengek rumah tangga hanya pada istri seorang. Sesibuk apapun pekerjaannya. Ada baiknya suami dan istri berbagi peran. Tak melulu tentang anak adalah urusan istri. Demikian juga dengan segala urusan kerumahtanggan lainnya. Bahkan kalau suami berlebih dalam rizki, tak ada salahnya menggaji seorang asisten bagi istri. Agar beban pekerjaannya terbagi. Jadi  istri bisa fokus hanya untuk mengasuh anak dan melayani suami saja. Sementara semua pekerjaan rumah biar saja diserahkan pada asisten.

Pasti anda sering mendengar kisah klasik tentang bagaimana seorang istri masih terlihat kucel saat suaminya pulang dari bekerja. Masih berpeluh dengan daster kumuh. Tak sedap di pandang mata. Hingga hal ini sampai membuat suami berselingkuh dan hatinya bertaut pada wanita lain.  Wah, rasanya saya kok ga setuju ya, kalau belum-belum istri yang dituding menjadi biang keladinya.

Nah,  menyikapi hal ini, ada baiknya suami instrospeksi diri. Jangan cuma istri aja yang disuruh ngaca. Belum tentu  lho itu semua salahnya istri. Eh...saya ga ada maksud membela pihak istri nih ya...saya cuma berusaha obyektif aja. Bukan tanpa alasan lho saya katakan ini. Logikanya bila energi istri sudah habis untuk setumpuk pekerjaan rumah tangga, belum lagi bila istri harus mengurus balita yang masih kecil-kecil, jangan heran bila waktu untuk melayani anda menjadi "sekedarnya". Suami hanya kebagian "waktu sisa". Sisa kelelahan tentu saja. Adilkah anda menuntut sempurna untuk satu hal yang seringkali diluar batas kapasitasnya?

Kalaupun suami belum punya cukup rizki memberi seorang asisten,  tak ada jalan lain selain membantu pekerjaannya. Misalnya nih, bangun pagi untuk membantu istri  mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebelum berangkat kerja. Ekstra cape?  ya pasti dong. Karena pekerjaan mencari nafkah saja sudah sangat menyita waktu dan tenaga.

Bila juga tak ada waktu membantu di hari kerja, kan suami bisa juga memanfaatkan  hari libur untuk memberi waktu pada istri anda memanjakan diri lepas dari semua rutinitas hariannya. Memberinya "Me Time" . Waktu untuk dirinya sendiri. Agar setelahnya ia bersemangat lagi menjalankan aktifitasnya. Gantikan semua pekerjaannya saat dia pergi. Aturlah jadwal bersama istri anda, agar sebisa mungkin hal ini bisa diwujudkan.

Saya punya pengalaman tentang ini. Hari-hari istri saya adalah hari-hari yang cukup lelah dilewati. Itu karena kami punya seorang anak spesial dirumah. Yang membuat sebagian besar waktu istri saya tercurah penuh hanya untuk si bungsu tanpa bisa melepasnya. Saya sering merasa iba melihatnya terbelenggu.  Tak mudah untuknya bepergian sesuka hati. Apalagi untuk sekedarjalan-jalan bersama teman-temannya. Masih bersyukur ia suka menulis untuk melepas kejenuhannya. Saya mendukung apapun kegiatannya asal positif .

Selain itu, saya juga beri dia waktu bersosialisasi dengan teman-temannya. Mengganti waktu luangnya yang hilang. Meski saya akui, agak repot mengurus anak spesial saya tanpa kehadirannya. Tak masalah. Saya lakukan semua untuknya. Agar hidupnya berimbang. Saya hanya ingin membuatnya bahagia, tentu dengan apa yang saya punya.  Sesederhana itu saja sih keinginan saya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline