Suara ketukan pintu rumah dan suara berat laki-laki dari luar sontak membuat kuterbangun daritidur, 03.07 ku lihat samar jam dinding di kamar. Ku kedipkan mata berkali-kali untuk memperjelas penglihatan, masih terasa perih mata ini, masih terasa beratkepalaku rasa, maklum tadi malam akuterlambat tidur karena menonton tim sepak bola kesayangan ku bertandingdi TV, walaupun dengan hasil yang mengecewakan. Ku lihat istriku dengan tangan kanan menyilang dikepala, dan guling yang berpindah posisi, tidur dengan lelapnya.
"Sat, jadi ikut tidak?" ku dengar lagi suara itu dari luar, suara yang sudah tidak asing ditelinga, suara Paman Mawi, lelaki kurus 56 tahun tinggi sekitar 157cm, dengan sedikit rambut putih d belakangkepalanya, tetangga depan rumah seberang jalan tanah merah yang hidup sendirian karena di tinggal meninggal istrinya setahun yang laluakibat penyakit aneh. "tunggu sebentar" sahutku dari dalam kamar dengan suara agak dipelankan.
Aku ingat hari ini adalah hari minggu, hari libur, harj yang selalu ku tunggu untuk bisa refreshing dari aktivitas sepanjang hari, dan sebelumnya kami sudah ada rencana hari ini untuk pergi memancing ketempat yang berdasarkan kabar dari orang-orangmasih banyak terdapat ikan nya, tempat yang namanya begitu asing bagi ku, "DanauBurung". Aku memang hoby mancing, ini adalah kali kesekian kami pergi melatih kesabaran,aku bukan pemancing hebat apalagiprofesional, mancing kuhanya sekedar penghilang stresdari aktivitas, pelepas galau dalam pekerjaan seminggu. Istri ku sempat melarang agar tidak pergi hari ini, dia menyarankan hari ini untuk berkumpul keluarga, bermain dengan anak-anak, atau membuat cemilan kesukaanku rempeyek kacang.
Perkenalkan nama ku Satria, umur 33 tahun lebih 4 bulan pada bulan ini. Akuseorangpengusaha photocopysatu-satunyadi kampungku,bukan usaha yang besartapi alhamdulillah dari usaha ku, aku bisa membesarkan anak-anak ku hingga saat ini. Anak perempuan pertamakusekarang sudah berumur 5 tahun lebih, sudah sekolah TK Al Qur'an, walaupun belum lancar membacahurup hijaiyah,setidaknyaputri pertama ku selalu berusha menunjukkan kepada ku membaca buku iqra yg sekitar setahun lalu aku belikan untuknya.Dari usaha kecil ku juga, aku bisa membelikanpopok dan susu formula untuk putra ku yang kedua yang baru berumur 3 bulan.
Aku bergegas keluar kamar, ku nyalakan lampu ruang tamu, terlihat oleh kudari balik kaca rumah,Paman Mawi yang memakai topi purun(tanaman rawa yg banyak terdapat dihutan rawa kalimantan) dan memanggul keba(benda terbuat dari anyaman bambu, berbentuk persegi seperti tas ransel berfungsi untuk membawa ikan hasil tangkapan) di belakang nya yg dari tadi menunggu d luar rumah. Ku buka perlahan pintu rumah dan paman Mawi tersenyum.
"jadi ikut kan, Sat?yang lain sudah menunggu dikelotok" (kelotok = perahu kecil berpenggerak mesin 10hp, muat untuk 3-5 orang) ujar paman Mawi sambil menghisap dalam kretek tanpa kapas di mulutnya.
"jadi lah, tunggu sebentar aku ambil perlengkapan dulu"
Dengan bergegas aku masuk kedalam rumah danmengambil keba, topi purun yang dari tadi malamsudahaku siapkan, terlihat oleh ku isi keba yang berisi umpan kroto, pancingan fiber, bekal yang berisi lauk telur masak habangdan nasi yang ku masukan kedalam wadah plastik kecil, tidak lupa pisau kecil untuk jaga-jaga kemungkinan ada binatang buas atau bertemu ular,juga air minum yangterisi penuh didalam botol air mineral bekas 1500ml. Cukup untuk bekal satu hari ini....
Setelah pamit dengan istriku, aku berjalan di belakang Paman Mawimelewati jalan setapak tanpa penerangan, yang kanan kirinyadipenuhi rumput liar berembun menuju kelotok yang dari tadi sudah menunggu, dari cahaya bulan yang remang tertutup awan, kulihat ternyata sudah ada dua orang lain lagi berada dalam kelotok, dia adalah Ipul, lelaki tambun seusia ku,perokok berat, pekerja teknisi di sebuah perusahaan plywood di dekat desa kami. Dan Bani, motoris kelotok, selalu siap siaga mengantar kami kemana saja asalkan bensin untuk mesin 10hp nya selalu tersedia, Sudah menjadi kebiasaan kami,menuju lokasi pemancingan yang jauh, berangkat pagi buta adalah hal biasa, apalagi lokasi asing seperti Danau Burung yang diantara kami berempat belum pernah ada yang sampai disana, untuk menghindari kesiangan tiba dilokasi.
Mesin kelotok dihidupkan, suara khas mesin mengaung, memekak bising di pagi buta, mengalahkan ocehan Ipul yang semenjak aku menaiki kelotok sudah menghayal akan banyak mendapatkan hasil pancingan hari itu,sinar bulan yang remang dari balik awan seakan mengisyaratkan agar kami jangan pergi pagi itu. 03.48 waktu d jam tangan ku saat itu.
Kelotok perlahan melaju, di iringi sinar bulan temaram, membelah sungai kecil berkelok yang kanan kirinya di tumbuhi hutan lebat, hutan nipah, rumbia, dan pohon-pohon besar khas hutan hujan tropis kalimantan, tidak ada satu kata pun yang terucap dari penumpang kelotok saat itu, masing-masing menghayal akan hasil pancingan yang melimpah saat pulang nanti, membuat istri tersenyum senang karena lauk makan terpenuhi untuk beberapa hari kedepan.Ku lihat Bani sang motoris terlihat fokus mengendalikan laju kelotok di belakang kemudi, entah berapa jauh sudah kami menyusuri sungai panjang berkelok yang seakan tidak ada ujungnya,sesekali ku lihat Bani menyalakan rokok di mulutnya karena rokok sebelumnya telah habis, entah berapa banyak sudah batang rokok yang dinyalakannya.