Lihat ke Halaman Asli

Abidin Ghozali

Direktur Ilmu Filsafat Islam Jamblang

Andaikata Intelektual

Diperbarui: 10 Oktober 2017   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi foto karya tulis tangan Abidin

Andaikata kita adalah kaum intelektual yang sama, bagaimanakah hubungan kita dengan masyarakat kita ? Dan jalan apakah yang harus kita pilih ?

Mula-mula kita harus mendiskusikan dahulu pemikiran bagaimana membentuk Intelektual, sebelum kita membahas hubungan dengan masyarakat. Sesungguhnya masalah ini ada pada taham kedua; taham pertama dalah tahap dimana kita memulai pengenalan kita pada intelektual dan kedudukannya yang penting pada masyarakat. Dengan kata lain, sebagai intelektual masyarkat ini, yakinkah kita dapat menyelami massa dan berkomunikasi dengan mereka? 

Bahkan seandainya kita menyangka bahwa kita telah memecah masalah kedua, pertanyaan pertama yang harus dikemukakan adalah, apakah kita dapat bicara dengan massa dan masuk ke dalam hati dan spirit para anggotanya. Apa yang menjadi peran kita ? Bagaimana kita akan memperlakukan pikiran-pekiran dan kepercayaan mereka ? Bijaksanakah jika kita meremehkan pikiran-pikiran dan berbagai kepercayaan massa, hanya karena massa tersebut sepenuhnya bersifat religius? 

Massa inlah yang membentuk bagian terpenting masyarakat. Atau haruskan kita mendiktekan gagasan-gagasan kita sendiri kepada massa ? Jika kita lakukan demikian, yakinkah kita bahwa pendiktean kita tidak akan membuat mereka lebih kaku dan bahkan makin tegus memegangi kepercayaan-kepercayaan religius mereka sendiri yang tegar? jika kita tolak kepercayaan-kepercayaan mereka, tidakkah kita akan mengasingkan diri kita sendiri dari mereka ? 

Bukankah hal ini bahwa kita telah mempropokasi mereka ke arah penggabungan mereka dengan kekuatan-kekuatan dalam melawan kita? Masalah ini sebagaimana kita ketahui harus dipecahkan. Sementara itu, kita masih saja meminjam gagasan-gagasan dan konsep-konsep dari kaum Intelektual Eropa dan abad terahir ini. Akan tetapi sejauh manakah pemikiran-pemikiran, rencana-rencana dan gagasan-gagasan Eropa mencerminkan realitas dan tanggungjawab kita ? jelas bahwa kita tidak dapat berharap terlampau banyak, oleh karena itu masalah yang kita hadapi dewasa ini berbeda dengan masalah-masalah yang dihadapi Intelektual Eropa abad ke-19.

Berdasarkan perbedaan-perbedaan, tepatkah saya, sebagai seorang intelektual yang berbeda waktu dan tempatnya, sekedar komat-kamit menirukan kata-kata para intelektual Eropa abad ke-19?

Dewasa ini masalah-masalah dasar bangsa seperti kedaulatan hukum atau kebebasan berpendapat sebenarnya belum dikatakan tuntas atau terjamin. Sekarang banyak yang menggunakan jargon-jargon Islam sebagai varian baru dari suatu yang telah ada dengan membentuk teknokrasi baru dari kalangan orang Islam. Sebenarnya kita menginginkan terobosan strategis yang membuat pembangunan dapat benar-benar banting stir. 

Sangat mustahil kalau hanya cendikiawan Muslim yang mampu merumuskannya sendiri. Sekali kita bargain dengan pihak di sana untuk menyusun suatu paket pembangunan, tampaknya Islam di situ paling jauh difungsikan sebagai suplemen. Begitu banyak konsep seperti, Wawasan nusantara, konsep Hankamrata, Undang-undang, Ketahanan Nasional yang sudah jadi lantas hendak diapakan? Anda harus melihat bagaimana pembengkokan yang dilakukan dengan sedimikian rupa sehingga dapat dicocokkan dengan idealisme Islam mengenai demokrasi. Hanya aspek teknis yang dapat diperbaiki. Kalau pendekatan teknis tentunya merupakan tugas teknokrat. Dengan perkataan lain just another technocracy. 

Saya melihat penglompokan intelektual berjalan ke arah kemandekan. Kelompok intelektual, apalagi yang memakai bendera agama, akan lebih berfungsi kalau bersuara untuk masa depan. Perjuangan hak asasi manusia, demokrasi dan kedaulatan hukum adalah perjuangan universal. Menyuarakan hal-hal tersebut merupakan otonomi masyarakat terhadap negara. Berarti disini tidak boleh memakai bendera Islam. 

Islam layak memberikan sumbangan tetapi tidak lantas mengklam. Sekarang seolah-olah Islam maju dengan klaim bahwa sumbangan yang benar hanya dari Islam. Seharusnya kita berfikir bahwa masing-masing, termasuk orang sosial-demokrat dan nasionalistik, memberikan sumbangan untuk satu Indonesia.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline