Pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Azis menjabat gubernur Mesir (65-85 H), ia menginstruksikan agar Hadis-hadis ditulis dan dikodifikasikan dalam suatu kitab.
Tujuannya adalah agar dapat menjaga keotentikan Hadis yang lambat laun termakan zaman kala itu. Kemudian, munculnya Ulumul Hadis, adalah disebabkan munculnya Hadis-hadis palsu yang telah mencapai klimaksnya pada abad ketiga Hijriyah.
Oleh karena itu, berbagai upaya dilaksanakan untuk menjaga kemurnian Hadis untuk dikonsumsi umat di masa yang akan datang.
Di era modern ini, otensititas Hadis menghadapi berbagai tantangannya. Berapa banyak Hadis-hadis palsu bertebaran di internet, media sosial, bahkan grup Whatsapp keluarga. Maka titik inilah yang menjadi tantangan para thaalibu-l-hadist, agar dapat mempurifikasi mana Hadis yang shahih dan mana hadis yang maudu’.
Tidak seperi Al-Quran yang otensititasnya sudah terjaga (meskipun ada beberapa kalangan yang masih meragukan), eksistensi dan otensititas Hadis merupakan ruh Hadis tersebut.
Kritik sanad dan matan merupakan alat untuk menjaga Hadis, sehingga perlu untuk ‘mengasah’ secara konsisten alat ini agar dapat menjadikan Hadis sebagai bahan yang tetap konsumtif bagi masyarakat di masa depan.
Pada hakikatnya, kajian Hadis sudah memposisikan sifatnya sebagai hal yang modern (kekinian). Hal ini dikarenakan setiap Muslim yang sudah mampu membedah dan mengkaji suatu Hadis, ia boleh mengkritik sanad atau matan Hadis. Subjektivitas inilah yang membawa Hadis bisa hidup setelah ditinggal oleh Rasulullah Saw. 14 abad yang lalu.
Kemudian dari subjektivitas inilah lahir kritik, dan dari kritik akan menghasilkan progresivitas. Maka, nilai-nilai ini yang harus dijaga oleh para thaalibu-l-hadist, agar ‘ruh’ kemodernan Hadis bisa bertahan untuk masyarakat di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H