Diplomasi Budaya Indonesia dengan Korea Selatan melalui Penggunaan Aksara Hangeul oleh Suku Cia Cia di Sulawesi Tenggara.
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan beragam suku, budaya, dan bahasa. Siapa sangka, Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai bahasa atau aksara yang sama dengan Korea tepatnya di kecamatan Sorawolio, Kota Baubau. Penduduk kampung tersebut rata-rata didominasi oleh Suku Laporo, dengan bahasa Cia-cia dimana menggunakan aksara Hangeul yang merupakan hurus abjad yang digunakan di Korea selatan untuk menulis bahasa dalam sehari-hari di daerahnya.
Seorang peneliti dari Korea bernama Tetua Adat Laporo Bugi, Djunidin melakukan penelitiannya bahwa ada sedikit persamaan bahasa antara Cia-cia Laporo dan aksara hangeul. Setelah 11 tahun lamanya meneliti bahasa Cia-cia, peneliti mengatakan ada sedikit persamaan bahasa "Ada sedikit persamaan bahasa antara bahasa Cia-cia dengan bahasa Korea, seperti nama perabot dapur dan lahan pertanian sebutannya juga hampir sama," kata Djunidin, kamis (6/4/2017).
Suku Cia-cia ini adalah salah satu suku minoritas yang ada di Indonesia dikarenakan jumlah penduduk hanya terdapat sekitar 80 ribu jiwa, dimana masyarakat tersebut kebanyakan pekerja petani singkong, jagung, dan sebagian nelayan. Warga kampung sekitar sudah belajar menggunakan bahasa dan huruf abjad ini dari kecil hingga dewasa, bahkan sudah mahir dalam menulis aksara Hangeul.
Nama-nama tempat di daerah tersebut sudah banyak menggunakan bahasa Korea, contohnya beberapa nama jalan dan nama sekolahan. Anak-anak sekolah dari tingkat SD hingga SMA diajarkan aksara Korea. Beberapa siswa, guru, masyarakat suku Cia-cia serta pihak pemerintah kota Bau-bau menjalin hubungan kerjasama dengan Hunminjeongeum Research Institute, lembaga riset bahasa Korea, guna untuk menyusun bahan pembelajaran kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-cia dengan huruf Korea yang diberikan kepada pelajar. Siswa-siswi diajari cara penulisan aksara hangeul dengan pengucapan bahasa Cia-cia. Sejak saat itu suku Cia-cia mulai terkenal di Korea.
Di tahun 2008, kota Bau-bau menggelar "Simposium Internasional Penaskahan Nusantara" dengan menghadirkan para delegasi-delegasi internasional, salah satunya delegasi dari Korea Selatan, Prof. Chun Thay Hyun. Ia ingin membantu masyarakat Cia-cia mempelajari lebih dalam lagi mengenai aksara Hangeul. Dengan begitu Korea Selatan menerapkan budaya tulisan dan bahasa hangeul di Etnis Cia-cia dan di setujui oleh pihak pemrintah kota Bau-bau, yang mana tujuan kesepakatan ini untuk menjalin kerjasama dengan tujuan bisa saling menguntungkan satu sama lain, seperti dari pihak Korea Selatan dapat memulai misi penyelamatan kepunahan bahasa daerah melalu aksara hangeul dimulai dari suku Cia-cia, begitu juga Sulawesi Tenggara yang memiliki banyak potensi, bahkan selauruh belahan dunia membuka peluang investor luar untul berinvestasi dengan lancar dan baik di kota Bau-bau sehingga dengan adanya kerjasama budaya ini Kota Bau-bau bisa mempromosikan National Interest, dan dapat membangun hubungan atau mempertajam pengertian sosial budaya.
Terdapat faktor elemen pengembangan sistem penulisan terkait hal tersebut yaitu:
- Faktor hubungan sosial, dengan proses dialog dan negosiasi dalam internal dan eksternal komunitas adat
- Faktor konteks politik, dengan proses melobi, negosiasi dan berkompromi pada peraturan pemerintah dan minat yang kompetitif.
- Faktor kekayaan budaya, dengan proses mengenali, memvalidasi, dan meningkatkan kesadaran sejarah, sastra lisan, dan pengetahuan kedaerahan.
- Faktor struktur bahasa, dengan proses menganalisis dan membandingkan sistem bunyi dan tata bahasa.
Dengan adanya proses diatas kita dapat memahi secara keseluruhan cakupan pendapat baik dari segi sosial, politik budaya dan kebahasaan yang realiti.
Lantas mengapa sampai saat ini aksara Hangeul dapat diterima dan diterapkan di suku Cia-cia, kota Bau-bau, Sulawesi Tenggara? dikutip dari Aksara-aksara di Nusantara: Seri Ensiklopedia, berikut beberapa faktornya:
- Faktor hubungan sosial: penggunaan aksara Hangeul sudah dapat persetujuan dari masyarakat setempat (internal), namun tidak dikonsultasikan dengan Kantor Bahasa setempat (ekstenal).
- Konteks politik: peraturan pemerintah setempat dan penerapan langsung di pembelajaran sekolah, tanda jalan, dan tempat.
- Kekayaan budaya: bahasa Cia Cia belum punya sistem tulisan yang bisa menyelamatkannya dari kepunahan, tapi tidak ada kompromi lanjutan tentang mengadopsi budaya serumpun atau budaya asing.
- Struktur bahasa: lewat kerjasama dengan Hunminjeoeum Society Korea, bahasa Cia Cia direkam dan disusun kamusnya.
- Hasil: penerapan huruf Hangeul di Buton berhasil dilakukan, tetapi muncul kontrovensi akibat beberapa poin yang tidak dapat terselasaikan dan sepenuhnnya tidak terpenuhi.
Masyarakat Kota Bau-bau mearasa sangat bangga melihat adanya hubungan diplomasi dengan Korea selatan mengenai adanya persamaan bahasa aksara Hangeul. Hal ini tentunya menjadi kebanggaan sendiri bagi warga negara Republik Indonesia karena dengan adanya salah satu kesamaan ini dapat di kenal lebih luas oleh masyarakat global. Namun demikian, hal ini juga dapat menjadi genjatan bagi Indonesia khususnya kepada pemerintah yang mungkin kurang memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap kebudayaannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H