Lihat ke Halaman Asli

Muridku, Tak Ku Sangka Terharu Ku Dengar Suaramu

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shalat tarawih malam ke 7 dari bulan Ramadhan yang penuh berkah di tahun ini akan dilaksanakan di dua tempat. Masjid besar untuk yang sudah dewasa dan di pelataran sekolah untuk anak-anak. Sengaja malam itu aku shalat di belakang seorang anak kecil yang tak lain adalah muridku sendiri. Mengapa aku sampai shalat di belakangnya? Bukankah masih banyak imam yang lebih dewasa darinya? Mungkin itulah beberapa pertanyaan yang akan terlintas di benak para pembaca. Bukan tanpa alasan aku bermakmum di belakang anak ini. Selain karena hafalannya yang telah selesai, bacaannya lumayan bagus dan aku ingin bernostalgia dengan suaranya yang sudah sekitar setahun ini tak pernah kudengar lagi. Padahal ia termasuk murid yang paling sering membuatku jengkel terhadap sikapnya. Bukan karena bengal dan suka teriak-teriak atau membuat onar. Bukan itu, tapi sangat pendiam sehingga orang yang berhadapan dengannya akan merasa serba salah. Bila dilihat sepintas, tidak ada yang istimewa dari anak ini. Ia hanyalah seorang bocah yang baru mencicipi rasanya kelas II SMP. Namun ia berhasil menyelesaikan hafalannya ketika masuk kelas VI SD. Ah, sudahlah. Biarlah masa-masa itu tersimpan rapi dalam memoriku. Ya Allah...... Aku terharu Ketika telah lulus SD aku sempat khawatir dengan hafalannya. Karena masa-masa itu adalah masa labil seorang anak. Dia pun seakan selalu menghindar ketika berpapasan denganku. Aku pun menjadi serba salah. Mungkinkah ia masih menyimpan amarah terhadapku karena perlakuanku dulu yang cukup dibilang "galak"? Entahlah. Namun sebenarnya kulakukan itu semata-mata ingin melihat murid-muridku berhasil. Shalat Isya' segera didirikan. Tapi, ke mana anak itu? Kutanyakan kepada kolegaku dan orang-orang di pelataran tempat kami akan menunaikan shalat. "Mana "Z", ada apa enggak?" tanyaku. Mereka pun mengatakan bahwa ia ada. Ternyata ia tak mau mengimami shalat Isya'. Shalat Isya' pun diimami oleh kolegaku. Shalat Isya' berhasil diselesaikan dengan baik. Kami pun bersiap-siap menunaikan shalat tarawih. Saat inilah yang kutunggu-tunggu. Sudah teramat rindu aku ingin mendengar suaranya. Bagaimanakah perkembangannya sampai saat ini? Gemetarkah ia karena ini adalah saat pertama kalinya ia maju menjadi imam? Terlebih lagi ketika sempat kutanya sebelum ia maju ke depan, "Mau baca surat apa?" Ia menjawab, "Al-Maidah." Semoga kekuatan hafalannya masih seperti yang dulu, gumamku dalam hati. Bacaan al-Fatihah rakaat pertama mengalun dengan pelan tapi pasti. Terasa syahdu bagiku. Namun dari suaranya terdengar ia agak grogi. Dan hal itu kumaklumi. Ia mulai memasuki gerbang al-Maidah. Ia kawal ayat-ayat itu dengan apik. Tak terasa aku yang menyimak di shaf paling belakang mulai merasakan hal berbeda. Entah kenapa, bulu kudukku merinding mendengar suaranya. Perasaan haru dan bangga bercampur menjadi satu. Demi Allah, aku hampir menangis saat mendengar alunan suaranya saat mengawal ayat-ayat dalam surat al-Maidah tersebut dengan indah. Inikah muridku dulu yang biasa kumarahi? Inikah muridku dulu yang sering membuat hatiku jengkel? Sekarang engkau telah berubah, Nak. Jujur kuakui, terharu saat kudengar lantunan bacaanmu. Tak terasa 11 rakaat pun berlalu dengan cepat. Bila mungkin, aku ingn mengulang masa itu agar semakin kuat berada di memoriku. Maafkan gurumu ini bila di masa lalu ia telah banyak berbuat salah. Sebenarnya ia hanya ingin melihat anak-anaknya menjadi berhasil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline