Ketika membaca judul itu, mungkin para istri dan wanita diseluruh dunia akan mengecam saya. Bagaimana tidak, tulisan di judul itu layaknya seperti menodongkan pistol kearah pada para wanita dan istri-istri untuk memilih satu dintara tiga pilihanyang sama-sama tidak mereka sukai. Beberapa orang wanita (istri) mungkin akan membaca tulisan ini dengan geram, marah, dan jengkel tingkat dewa seraya berucap (maaf); “kurang ajar nich orang”. Namun, diakui atau tidak, disukai atau tidak, inilah fenomena yang kerap terjadi dilingkungan masyarakat kita. Bahkan orang yang kita kenal mungkin ada yang pernah atau sedang mengalaminya. Tapi,… eeiiitttss, jangan su’udzan dulu, baca sampai selesai, baru marahlah pada saya. Ketika suami dengan gelap mata “bernafsu” untuk mempunyai istri lagi, ditopang dengan “mapanisasi kemakmuran”, tak jarang mereka “obral pesona” pada para wanita. Akibatnya, istri yang telah setia menemani jatuh bangun para suami, justru dipaksa untuk memilih; cerai, poligami atau diselingkuhi. Parahnya lagi kalo wanita (istri) “hanya” berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang tak punya kemampuan untuk mencari nafkah dan tergantung sepenuhnya pada nafkah “pemberian” suami. Wanita seperti ini tidak mempunyai posisi tawar sama sekali dan rentan untuk diperlakukan sewenang-wenang oleh suami mereka. Apalagi ditambah “fisik” istri yang tidak lagi menarik buat para suami. Sedangkan berjuta godaan “alien” diluar bumi pernikahan para lelaki bertebaran menyerang para suami dari kiri-kanan, depan belakang, atas bawah, serta kahayalan, mimpi, cita-cita dan alam sadar mereka. Lalu seperti guyonan yang sering dilontarkan para lelaki (maaf); “…iman sich kuat, imronnya yang manaa tahaaaan”. Mungkin para wanita segera protes dan interupsi; “…mas penghulu, apa nggak ada pilihan lain ? segera saja saya jawab dengan terharu; “…emang kalo para suami sudah kadung gelap mata terbutakan oleh cinta, mereka mau memberi kesempatan pada para istri untuk memilih..??? jawabannya; “tebak sendiri lah, antum a’lamu bi umuri dunyakum (engkau lebih tau urusan duniamu sendiri)” Saya tidak ingin membela “kaum” saya, para lelaki. Justru sebaliknya, saya justru ingin membuka pikiran “kaum” saya yang tersesat dijalan yang di klaim “benar”. Sebab kaum saya itu memang punya oknum yang dengan kurang ajar menjadikan “sunnah” dan ajaran agama sebagai kedok untuk menutupi nafsu mereka. …waduuuh, membela ibu-ibu tapi bisa-bisa saya malah di kucilkan oleh para lelaki , hehe, peace mas brow, pak brow… !!!! Di indonesia, mahar perkawinan untuk pengantin terbilang “sangat murah”. bagaimana tidak, hanya beberapa lembar uang seratus ribuan, atau seperangkat alat shalat. Bahkan di kecamatan tempat saya berdinas, hanya selembar uang lima puluh ribuan. Efeknya, para “oknum” lelaki dengan rakusnya mengikat janji berbekal selembar berwarna biru tersebut, dan …sah. Hal ini juga semakin diperunyam oleh “anggapan keliru” bahwa nikah bawah tangan itu juga sah. Temen disebelah saya bilang, “…salah wanita juga sih, senengnya nyari laki-laki yang berduit, perkara suami orang atau tidak, tak perduli lagi mereka. Perkara hanya dinikah bawah tangan/siri, jadi urusan ke 11, yang penting nikah, yang penting halal, yang penting sah” Dengan sinis, saya bilang, “sah dari mana? Emangnya Allah mensyariatkan pernikahan cuma untuk aspek menghalalkan “wati” (bersetubuh)? Emang tidak ada aspek perlindungan pada para wanita dan anak-anak sebagai generasi penerus ? Emang tidak ada aspek kemaslahatan jangka panjang yang jauuuh lebih besar dari pada “hanya” membentuk sebuah keluarga? Emang tidak ada aspek pembentukan masyarakat yang terikat oleh norma legalitas, moral dan budaya? Lalu apa bedanya dengan (maaf) binatang? …waaah semakin membingungkan nich, kaya bahasanya si Vicky gotik aja…hehehe Sunnahkah Poligami itu..?
Dalam sirah nabawiyyah dikisahkan sebuah bukti bahwa Nabi lebih lama setia dengan satu istri (28 Tahun) daripada berpoligami. Padahal, adat “perkawinan” pada saat itu sangat mengerikan (istibdha’, khaddan, badal, maqthu’, rahtun, syigar dan perakwinan seperti yang saat ini terjadi melalui ikhitbah dan mahar). Disamping itu, dari kesemua istri nabi, hanya satu yang berstatus gadis, yang lain adalah janda-janda perang yang memang membutuhkan perlindungan secara ekonomi dan lain sebagainya. Kalo kemudian diaplikasikan dengan (maaf) “kelakuan si kucing garong” jaman sekarang, ya ga connect! Nah, sunnahnya dimana ?
Argumen bahwa poligami sunnah itu hanya modus, sinonim dengan penghindaran tanggung jawab dari adanya tuntutan untuk berlaku adil, yang sesuai realita, untuk bisa adil seperti penggambaran Al Quran, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…(An-Nisa: 129) hampir mustahil untuk dilakukan. Itulah mengapa ayat al-Qur’an : “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (TUQSITU) terhadap anak-anak atau perempuan yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinlah dengan perempuan lain yang menyenangkan hatimu; dua, tiga, atau empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (TA’DILU) (terhadap istri yang terbilang), maka kawinilah seorang saja, atau ambillah budak perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya” (An-Nisa` 3) tidak menggunakan kata tuqsitu (adil secara materi) akan tetapi menggunakan kata ta’dilu yang berarti adil secara immaterial (termasuk kasihsayang dan cinta).
Nah kalo sudah bicara urusan kasih sayang, cinta, perhatian dan lain sebagainya, bila sudah beristri lebih dari satu, masih adakah criteria adil itu ada jaminan akan diperoleh istri pertama? Tentu tidak, new comer akan lebih istimewa dari pada the older. Bahkan, bila adil dalam segi immaterial itu tidak atau sudah dipenuhi, tak mungkin akan hadir orang kedua, ketiga dan selanjutnya. Karena kan masih cinta.., masih sayang, mosok dengan orang yang dicintai malah rela berbagi dengan yang lain, tega menyakiti hati orang yang dicintai,…Benar tidak ibu-ibu?
Nah bila dirunut lagi korelasinya dengan asbabun nuzul ayat poligami itu diturunkan, justru ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. Syaikh Muhammad Abduh sendiri menyatakan dalam Al-Manar 4/287, bahwa poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman. Mungkin ini sebabnya kenapa nabi tidak poligami pada masa awal pernikahannya, Naaaah loe… !
Bahkan kitab Rûh al-Ma’âni karya Imam al-Alusi, menyimpulkan bahwa nikah justru menjadi haram bila mempelai pria mengetahui dirinya tidak mampu menjamin terpenuhinya hak-hak istri, hingga istri merasa tersakiti dan terdapat indikasi mencelakakannya.
Bila diteliti lebih lanjut, bahkan Rasul SAW memerintahkan para sahabat yang beristri banyak untuk menceraikan mereka dan menyisakan hanya 4 orang, lha ini kan maqasid syari’ahnya untuk membatasi poligami yang seenaknya sendiri dan mengedepankan aspek “adil secara immaterial”. Hadits dalam Kitab Jami’ul Ushul XII/168 bahkan secara jelas menggambarkan; "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus".
Inilah fitrah semua orang tua di dunia ini, begitu juga dengan Rasul SAW, mana ada orangtua yang rela jika anak kesayangannya dipoligami, karena pasti akan menyakiti hati wanita dan juga hati orangtuanya.Ada pernyataan menarik yang mungkin selama ini tak pernah terekspose dan diketahui public, atau bahkan sengaja di hidden yaitu hadits dalam Jami’ul Ushul XII/162 yang isinya kurang lebih; Nabi SAW marah ketika mengetahui kabar bahwa Fathimah akan dimadu oleh Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mengetahui kabar itu, kurang lebih beliau berkata: "Beberapa orang dari Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin padaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali, Ketahuilah, aku tidak akan pernah memberikannya (izin), sekali lagi tidak akan. Kecuali Ali menalak putriku, baru kupersilakan menikahi putri mereka. Ketahuilah, putriku adalah bagian dari diriku, apa yang mengganggu perasaannya berarti juga menggangguku, apa yang membuatnya sakit hati adalah menyakiti hatiku juga."
Bila sudah begini, masih sunnahkah poligami yang berlaku di jaman sekarang ini?
Endingnya, setelah membaca sampai disini, masih geram/marah dan jengkelkah para wanita (istri) pada tulisan saya ini ? atau justru para “suami dan bapak-bapak” yang berbalik geram, marah dan jengkel pada saya. Waaah, ngerriiii … !
Wallahu a’lam bisshowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H