Lihat ke Halaman Asli

Perang Badar 2014

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di awal masa kampanye Pilpres 2014 Prof. Dr. Amien Rais membuat statement tentang Perang Badar. Walaupun diungkapkan dalam forum terbatas, akhirnya tetap tersebar ke media dan menjadi bahan pembahasan publik sehubungan dengan berita Pilpres.

Memang benar apa yang disampaikan oleh Prof. Amien Rais, kondisi Indonesia sejak 2014 ini ke depan adalah kondisi perang Badar. Prof. Amien Rais sebagai warga negara Indonesia dari suku Jawa yang menghabiskan banyak masa hidupnya di Jogja, terdorong oleh bawah sadarnya memilih ungkapan Perang Badar. Makna Badar bukanlah suatu bukit di jazirah Arabia tempat pertempuran seorang Nabi melawan musuh-musuhnya 14 abad lalu. Badar dalam peristilahan wayang kulit Jogja, artinya adalah "terbuka kedoknya" atau "terbuka penyamarannya".

Ada beberapa kisah wayang kulit carangan versi Jogja, yang memuat kejadian Badar dalam alur ceritanya. Biasanya sehubungan dengan Bathara Guru (Dewa Syiwa) yang turun ke dunia  menyamar menjadi seorang Resi atas permintaan putranya, atau pihak Kurawa, dengan tujuan mencelakakan Pandawa. Setelah terjadi perseteruan dan peperangan, sampai akhir tidak ada yang mampu mengalahkan Resi samaran Bathara Guru, akhirnya Semar yang muncul membela Pandawa. Semar berperang tanding melawan Resi lalu mengalahkannya, dan Badarlah wujud sang Resi, kembali ke aslinya, Bathara Guru. Di kisah lain, Bathara Guru menyamar sebagai Raja dan berusaha mencelakakan Pandawa, akhirnya Badar saat berhadapan dengan Semar yang mengeluarkan kentutnya.

Mengapa Perang ? Para pemimpin negara saat ini tidak bersatu padu bekerja untuk melayani rakyatnya, tetapi saling berseberangan bermusuhan. Siap menang siap kalah dalam kontes Pilpres hanya slogan. Menang jangan jumawa, kalah harus legawa, semua tinggal kata-kata tiada pelaksanaannya. Visi misi luar biasa hanya busa kata-kata janji manis saat kampanye. Kelakuan selanjutnya penuh beringas berebut kemenangan kekuasaan.

Mengapa Semar ? Hanya Semar yang mampu mengalahkan dan membuat Badar, terbuka kedoknya Bathara Guru. Semar adalah simbol rakyat kecil, bukan satria. Sekaligus Semar adalah titisan Dewa. Selaras dengan adagium Yunani, suara rakyat, adalah suara Tuhan. Maka dalam Perang Badar 2014 ini dan seterusnya, rakyatlah yang akan menghadapi dan membuka kedok dan mengonceki kelakuan para pemimpin yang berbuat mengatasnamakan rakyat, tapi sejatinya hanya mementingkan diri sendiri, keluarga dan kroninya, dan merugikan rakyatnya.

Mengapa kentut ? Bukan kata-kata yang keluar dari mulut di kepala. Tapi kentut, dengan bunyi dan rasa tanpa martabat, keluar dari lubangnya pantat. Rakyat Indonesia yang dikatakan pemimpinnya sebagai ‘bodoh’, setelah sekian puluh tahun merdeka, melewati jaman tidak enak dan jaman enak yang dibangga-banggakan ternyata memang masih bodoh, wajar bila hanya bisa mengeluarkan kentut. Menegur mengingatkan para pemimpin dengan kata-kata penuh hikmah bijaksana, selain rakyat tidak bisa, juga akan sia-sia. Para pemimpin lebih pandai dan lebih ahli berkata-kata yang muluk mulia. Hanya sumpah serapah yang dapat diteriakkan untuk mengungkapkan sakit hati rakyat yang terus ditipu dan dibodohi para pemimpin.

Badarlah, terbukalah kedoknya para pemimpin Indonesia satu demi satu seiring setiap peristiwa politik negeri ini. Sebodoh-bodohnya rakyat masih dapat melihat, merasakan dan menilai perbuatan-perbuatan para pemimpinnya, apalah mereka benar-benar sedang bekerja untuk kepentingan rakyat, atau sedang berebut kekuasaan demi kepentingan diri dan kroni-kroninya. Segala macam sandiwara tidak dapat menutupi maksud tersembunyi. Masyarakat dengan mudah mengetahui lalu menelanjangi dan menyebarluaskan seketika dalam era informasi digital saat ini.

Dan ketika para pemimpin durjana tampak begitu berkuasa tiada yang dapat mengalahkan, di saat terakhir, rakyatlah yang akan menghadapi dan mengambil keputusan. Semar akan kentut dan memporakporandakan segala rekayasa politik tingkat tinggi. Setelah sekian tahun rentetan bencana, dan sekian tahun jenuh terinjak-injak tarian para pemimpin durjana, hati rakyat terbuka untuk menginginkan kebaikan dan kemajuan, dan di saat yang tepat pemimpin-pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat dimunculkan Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline