Di tengah pesatnya perkembangan teknologi yang semakin canggih, kalangan remaja saat ini tengah menghadapi tantangan terbesar dalam pencarian jati diri mereka. Di era digital, kemudahan mengakses sumber internet apa pun bisa dimana pun dan kapan pun. Akses yang tak terbatas dan informasi yang mudah dan cepat tersebar sangat mempengaruhi cara pandang remaja terhadap dirinya sendiri. Terutama pada media sosial, sebagai platfrom digital hal ini tidak hanya sekadar memanfaatkan sebagai sarana alat komunikasi satu sama dengan yang lain. Media sosial menjadi sebuah sarana saling berbagi informasi dengan bebas tanpa adanya batasan. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan bahwa masyarakat yang mengakses internet di Indonesia mencapai 63 juta orang dengan pengguna aktif terbanyak ada pada kalangan remaja rentang usia 15-19 tahun.
Masa remaja merupakan fase perkembangan individu yang sangat penting, masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan, baik secara fisik, sosial, dan kognitif (Nugroho dkk 2021). Periode remaja berlangsung dari sekitar usia 10-12 tahun hingga 18-20 tahun (Sudibyo dan Nugroho, 2020). Masa remaja biasanya ditandai dengan keinginan pribadi yang semakin besar akan kebebasan dirinya dan pencarian jati diri. Perubahan ini mencakup aspek fisik, kognitif, emosional, dan psikososial. Krisis identitas sangat rentan terjadi di kalangan remaja karena ketidakmampuan mereka dalam menyelesaikan konflik dengan dirinya sendiri yang difaktorkan oleh media sosial. Menurut Rope Denny 2022 krisis identitas atau identity crisis adalah kondisi dimana seseorang mempertanyakan nilai, kepercayaan dan tujuan hidupnya. Sebagai dampak dari degradasi konsep diri karena masukan atau saran yang dianggap bagus tetapi nyatanya merusak diri sendiri. Mereka cenderung kebingungan dalam menentukan tujuan hidup dan arah masa depan mereka (Komara & Saputra, 2023). Akibatnya, seperti yang dijelaskan oleh Kushendar (2017), remaja-remaja ini juga dapat mengikuti tren atau perilaku teman sebaya mereka tanpa pertimbangan mendalam. Perilaku ini terkadang dapat bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat
Penggunaan media sosial menjadi wadah yang menawarkan bagi setiap individu untuk menyebarkan dan membentuk citra diri sesuai keinginan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, media sosial memberikan ketergantungan pada tiap individu untuk terus menyuapi ego, sehingga hal tersebut memberikan beban psikologis dan rasa ketidakpuasan. Peranan media sosial mengambil peran besar dalam membentuk perilaku para pembaca. Menurut Eric dan Liesl terdapat banyak faktor pembentukan kesan pada otak dan berkontribusi pada keunikannya. Menurutnya anak rentang usia remaja lebih mudah fokus terhadap apa yang dibaca, yang dimana hal ini menandakan bahwa usia remaja dengan mudah terpengaruh terhadap identitas dirinya sesuai dengan apa yang dia dapatkan sebelumnya yang dapat menyebabkan krisis identitas terjadi.
Maka disinilah peran guru sebenarnya. Peran guru dalam pendidikan tidak hanya sebatas penyampaian pembelajaran, terlebih lagi guru Bimbingan dan Konseling memiliki tanggung jawab dan memegang peranan penting dalam membantu kesejahteraan psikologis, mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi siswa terhadap segala masalah siswa termasuk krisis identitas Sari dan Nurihsan (2016). Layanan konseling dari guru Bimbingan dan Konseling memiliki dampak yang signifikan dalam pencapaian tujuan pendidikan di sekolah, saling melengkapi fungsi pengajaran dan berkontribusi pada pembentukan kepribadian siswa secara emosional dan sosial.
Beberapa strategi perlu diterapkan untuk mengefektifkan bantuan permasalahan krisis identitas siswa. Ketika siswa mengalami krisis identitas, banyak dari mereka mempertanyakan pertanyaan atas dirinya, dalam hal ini guru BK perlu mendampingi secara emosional dan konseling, diperlukannya guru BK bertindak sebagai pendengar yang baik. Carl Rogers memperkenalkan pendekatan person-centered counselling, yang perlu digunakan oleh guru BK. Pendekatan ini membebaskan konseli untuk bergerak maju sehingga dapat mengambil tanggung jawab atas dirinya sendiri.
Pertama, guru dapat memberikan layanan informasi sebagai langkah awal. Langkah ini menjadi langkah awal membantu siswa untuk bisa mengetahui dan memahami mengenai hal apa saja yang baik dan buruk. Sehingga siswa bisa membatasi diri sesuai dengan batasan. Pemberian layanan informasi, guru dapat menyiapkan media poster atau video yang bersifat edukatif.
Kedua, perlunya penerapan layanan bimbingan kelompok dalam mengatasi permasalahan krisis identitas. Metode ini cukup tepat dengan kondisi siswa saat ini yang lebih menyukai berteman secara kelompok, siswa juga lebih terbuka jika bersama teman sebayanya. Di dalam bimbingan kelompok, guru akan membantu siswa dalam mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi permasalahan siswa. Selain menjadi pendengar, guru BK dalam bimbingan kelompok perlu memberikan dukungan emosional serta membangun hubungan kepercayaan dengan siswa guna memperlancar sesi konseling. Guru dapat menyesuaikan berbagai pendekatan terhadap siswanya.
Ketiga, guru perlu membuat dan menetapkan asesmen yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Asesmen ini berguna untuk mendukung sesi bimbingan kelompok. Asesmen yang jelas akan membantu guru dalam menilai dan menyelesaikan permasalahan permasalahan krisis identitas siswa secara baik, yang diuraikan dan dianalisis secara sistematis. Di akhir asesmen, guru akan lebih mudah untuk menetapkan pilihan atau keputusan langkah selanjutnya. Asesmen ini juga membantu guru mengevaluasi semua masalah secara rinci, sehingga dapat menyusun sosialisasi untuk para siswanya secara edukatif. Tiga strategi di atas menjadi langkah awal yang harus diterapkan bagi seorang guru BK dalam menghadapi siswanya terlebih lagi bagi siswa yang mengalami krisis identitas.
Referensi
Falakhul Darajatun Adzkiah, A. R. (2024). PERAN GURU BK DALAM MENGATASI KRISIS IDENTITAS REMAJA. Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling , 434-439.