Lihat ke Halaman Asli

Abel Pramudya

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

Pajak Karbon, Solusi Lingkungan Solusi Ekonomi

Diperbarui: 23 April 2022   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Summer Festival 2.0 Bali

Isu pemanasan global, perubahan iklim, gas rumah kaca menjadi problem kita bersama sedari lama. Berbagai upaya terus dilakukan untuk menjaga dan merawat bumi ini agar tetap bersih. Namun, tampaknya kerusakan lingkungan makin hari makin menjadi. Seolah sudah menjadi hal yang lumrah hingga orang tak lagi resah.

Pada dasarnya hampir setiap bagian kehidupan manusia berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan. Harus kita akui, kita tidak bisa untuk tidak sama sekali merusak bumi. Bagaimana tidak, ketika bernafas saja, kita mengeluarkan karbon dioksida yang merupakan salah satu gas penyebab efek rumah kaca. Gas rumah kaca pada akhirnya memerangkap panas di bumi, menyebabkan pemanasan global, kemudian perubahan iklim, dan bertambahnya permukaan air laut. Seram bukan?

Sebagai upaya represif untuk mengurangi karbon, ada sebuah kebijakan yang disebut dengan carbon tax atau pajak karbon. Pajak karbon merupakan biaya yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon, termasuk minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Negara-negara yang sudah menerapkan pajak karbon antara lain, Inggris, Irlandia, Finlandia, Swedia, Australia, Jepang dan China.

Di Jepang, pajak karbon yang dikenakan per ton emisi CO2, yakni sebesar 289 yen atau sekitar Rp 38.000. Sejak 2013 hingga 2018, Jepang berhasil mengurangi emisi karbon sampai 8,2 persen.

Indonesia pun akan menjalankan kebijakan ini segera. Sejak 2016, pemerintah terus menggodok rumusan kebijakan pajak karbon yang ditargetkan rampung pada 2020. Rencananya, pajak kendaraan bermotor tidak lagi dititikberatkan pada kapasitas silinder mesin (cc), tetapi pada emisi karbon yang dikeluarkan. Semakin rendah emisinya semakin rendah pula pajaknya.

Asisten Deputi Menteri Untuk Konservasi Lingkungan Kemenko Perekonomian Dida Gardera mengatakan, penerapan pajak karbon bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) global. Selain itu, pada Perjanjian Paris atau Paris Agreement, Indonesia juga berkomitmen mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Berdasarkan data dari Union Concerned Scientists pada 2015, Indonesia masuk dalam daftar 20 negara penyumbang karbon terbesar di dunia. Indonesia berada di urutan ke-13 di antara Meksiko dan Afrika Selatan dengan total emisi karbon yang dihasilkan sebanyak 442 juta metrik ton. Bisa dibayangkan betapa besar penerimaan pajak yang didapat dari pajak karbon Indonesia jika kebijakan ini diterapkan.

Setiap pajak memang regresif, tetapi regresifitas pajak karbon harus diminimalkan dengan memastikan pembagian yang adil dari pendapatan pajak yang dialokasikan ke orang yang kurang mampu. Alokasi pendapatan pajak harus digunakan dengan sebijak-bijaknya. 

Manfaat pajak karbon selain untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, juga harus meningkatkan perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan dari pajak karbon bisa dialihkan untuk pemberian insentif atau subsidi di sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi publik, atau industri hijau. Setidaknya itulah yang diharapkan dari implementasi pajak karbon, mampu menjadi solusi lingkungan, sekaligus solusi ekonomi negara.

Jika pajak karbon diterapkan di Indonesia, kira-kira pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil seperti PLTU dan PLTG harus membayar berapa banyak, ya? Lalu, jika pembukaan lahan dengan cara membakar hutan juga dikenakan pajak karbon, berapa jumlah yang harus dibayarkan? Sepertinya penerimaan negara bakal semakin melejit. Menarik!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline