Lihat ke Halaman Asli

Manajemen "Pelanduk Mati Ditengah" ; Be Yourself...!

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar peribahasa "Gajah bertarung lawan gajah,pelanduk mati ditengah" ? Arti peribahasa tersebut adalah bahwa bila orang-orang yang berkedudukan tinggi saling berkelahi atau bertengkar,maka yang menjadi korban adalah orang kecil.

Peribahasa tersebut seringkali terjadi di perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai struktur organisasi "dewan direksi" ; Macam-macam fungsi jabatan direktur ada dalam "dewan direksi" tersebut. Tetapi tentu saja yang paling berperan dan bertanggung-jawab dalam struktur "dewan direksi" adalah Direktur Utama/Presiden Direktur/CEO atau sejenisnya. Namun sayangnya,tak kurang pula di Indonesia ini,jabatan CEO atau Direktur Utama di sebuah perusahaan hanya sebuah "hiasan" untuk legalitas atau faktor kepentingan terkait hubungan dengan perbankan,dll.

Ingat kasus anak mantan Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan yang tersangkut kasus korupsi Videotron? Direktur Utama PT Imaji Media yang menjadi pemenang tender adalah seorang "office boy" dan pesuruh atau sopir dari Riefan Afrian yang merupakan "boss" atau pemilik PT Imaji Media.Hendra Saputra diajukan ke pengadilan sehubungan namanya secara legal dipakai sebagai "direktur utama" perusahaan pemenang tender Videotron. Bisa saja ketika namanya dipakai sebagai "direktur utama" dirinya tidak tahu konsekwensi hukum apa yang akan terjadi bilamana perusahaan tempat dirinya bekerja tersangkut kasus hukum. Kesehariannya mungkin benar dirinya terlihat seperti seorang "direktur utama" dengan berbagai fasilitas yang dimiliki,tetapi sebagai "decision maker" bisa jadi kalau ditanya jawabannya malah "jauh api dari panggang"

Anda tidak usah heran bilamana itu terjadi di Indonesia,karena hal demikian sudah umum terjadi di perusahaan-perusahaan besar yang ada di dunia bisnis Internasional maupun Lokal Indonesia. Seseorang yang kapasitas dan kompetensi kepemimpinan serta pengalaman kerjanya jauh dari industri yang dipegangnya,banyak yang menjadi CEO/Direktur Utama di perusahaan-perusahaan besar. Kebanyakan mereka ini yang disebut sebagai "ekspatriat" di negara Indonesia,atau para lulusan Luar Negeri yang fasih berbahasa Inggris sebagai bahasa bisnis dunia Internasional. Tujuan para pemilik perusahaan tentu saja baik,yaitu untuk memperluas hubungan/mitra dengan orang-orang asing yang mempunyai jalinan bisnis dengan mitranya di Luar Negeri.

Tetapi sayangnya sekarang orang Indonesia dan pebisnis dibuat terbelalak oleh Gaya Jokowi dalam mempresentasikan "the future of Indonesia" dibawah kepemimpinannya di pertemuan 300 CEO di Beijing tempo hari. Bahasa Inggris seorang Jokowi yang "medhok" khas orang Jawa dan sangat "to the point" dalam menyampaikan presentasi bisnis tanpa basa-basi justru mengundang decak kagum banyak orang. Seorang Presiden Indonesia "to the point" karena dia mengetahui persis inti masalah dan kebutuhan rakyat Indonesia yang perlu disampaikan ke para CEO yang hadir di pertemuan tersebut. Buat apa "pronunciation" nya sangat bagus sesuai "selera" bule tetapi presentasinya berputar-putar hanya untuk terlihat bahasa Inggris nya "very well" ? Bukankah nantinya pelaksana teknis di lapangan yang akan bertemu,membahas detil dan bernegosiasi dengan orang-orang asing tersebut? Mereka inilah yang tentu harus menjabarkan dalam dua bahasa di perjanjiannya nanti  ; Oleh karena itu nantinya yang diperlukan adalah seorang penerjemah yang di sumpah yang dapat membuat perjanjian dalam dua bahasa , bukan seseorang yang hanya pintar berbahasa Inggris yang kemudian menjabarkan detil dan melakukan negosiasi tetapi masalah teknis dan kompetensi di lapangannya sama sekali kosong melompong.

Pada waktu berbincang-bincang dengan para "Guru besar" di sebuah Institut yang sangat terkenal,terlontar kenapa industri kelapa sawit di Indonesia sangat jauh tertinggal dari Malaysia dan hal-hal yang terkait kebijakan Kelapa Sawit di pihak Indonesia kurang berperan besar...? Jawaban yang mengejutkan dari para "guru besar" tersebut sangat mencengangkan banyak orang,"...yang diajak negosiasi dengan pihak Luar negeri / Asing hanya orang yang pintar berbahasa Inggris,tetapi pengetahuan tentang industri kelapa sawit dan perkelapa-sawitan sangat rendah...!" ; Akhirnya perjanjian yang dibuat pun "jauh api dari panggang" ,sebuah sindiran bahwa jawabannya nggak nyambung...! Sungguh ironi,bukan...?

Kisah nyata diatas bukan cuman itu saja,banyak kisah nyata yang sangat menyedihkan ketika banyak orang muda lulusan Luar Negeri pulang ke Indonesia ternyata tidak memahami persoalan bisnis yang ada di "perut" Indonesia. Mereka masih membawa "dream" dan apa yang terjadi di negara tempat mereka belajar. Akhirnya benturan kultur dan budaya serta akar permasalahan bisnis serta "need" rakyat Indonesia sebagai konsumen terabaikan. Tak sedikit bisnis yang dibangun oleh mereka gagal dan tidak berkembang dengan baik di Indonesia ; Tetapi yang paling konyol adalah jawaban klise,"...memang ini untuk bisnis masa depan....!" ; Jadi mau berapa lagi investasi dan kerugiannya...?

Akibat banyaknya orang-orang yang duduk sebagai "dewan direksi" dengan kwalitas "jauh api dari panggang" dan lebih repotnya hanya menjadi "hiasan" supaya terlihat lebih "keren",maka tak sedikit perusahaan-perusahaan besar menuai hasil yang tidak optimal dalam menjalankan roda bisnisnya . Para "dewan direksi" hasil karbitan dan hanya pintar "cas-cis-cus" berbahasa Inggris sibuk sendiri dengan maunya dan menganggap para karyawannya seperti pelanduk yang  bodoh dan tidak mengerti serta bisa menjabarkan strateginya,dan lebih mengerikan lagi mereka saling bertengkar / berkelahi untuk mencari siapa "kambing hitam" atau dicari "kambing" yang bisa di "hitam" kan . Karyawan yang bagai pelanduk "bodoh" yang dijadikan "kambing" pun akhirnya benar-benar mati ditengah....! Pertengkaran di dalam tubuh perusahaan yang dilakukan oleh para "gajah" sebenarnya bukan hal yang baru pula. Mereka yang ada di "dewan direksi" seringkali tidak sinkron,padahal bahasa "cas-cis-cus" nya sudah sama ; Ada yang mengatakan masalah yang terjadi karena para "gajah" tersebut bukan dari kalangan profesional yang mengerti masalah di lapangan,seperti yang dicontohkan oleh seorang Jokowi dalam melihat masalah di Indonesia. Para Gajah memang hanya pintar berbahasa asing,tetapi mengerti pun tidak.....? Kalau "gajah"nya seperti Susi Pudjiastuti yang Menteri Perikanan dan Kelautan pada kabinet Jokowi-JK,bagaimana? Selain pintar berbahasa asing,dirinya juga mengerti tentang masalah perikanan di Indonesia. Banyak kalangan yang mendukung,bahwa Susi memang "menteri ideal dan paling favorit" saat ini,tetapi ada  pula yang mengatakan menjadi "boss" di perusahaan sendiri akan berbeda dengan "boss" yang memimpin kementerian. Susi memang belum teruji,tetapi seorang Jokowi patut menjadi contoh kasus Manajemen yang baik dalam "memimpin" sebuah perusahaan.

Kembali kepada konflik "antar gajah" di perusahaan,kita seringkali menganggap bahwa bila para "gajah" itu bertengkar maka "pelanduk" akan mati ditengah. Manajemen "pelanduk mati ditengah" adalah dikarenakan sikap para "gajah" yang menjadikan pelanduk sebagai "kambing" yang memang perlu di cat "hitam" untuk memuaskan dan menyelamatkan dirinya. Oleh karena itu,banyak anjuran untuk menjadi pelanduk yang pintar seperti yang ada di cerita-cerita hikayat tentang pelanduk atau kancil. Tak banyak orang yang bekerja sebagai karyawan berlaku sebagai pelanduk pintar. Pelanduk pintar bisa berubah suaranya menjadi seorang "boss" dan juga bisa berubah menjadi "katak" ; Ada kalanya untuk menyenangkan "boss" maka pelanduk harus menjadi "katak" yang menjilat-jilat si "boss"dan menyikut kawan sekerjanya dan menendang bawahannya. Sang Pelanduk yang pintar juga bisa berubah menjadi tiruan "boss" ketika dirinya "lupa daratan" seperti cerita "Kancil jadi Raja Hutan" ; Pelanduk yang pintar memang selalu lolos dari jeratan "boss"...!

Sepertinya peribahasa dan anjuran untuk menjadi pelanduk yang pintar adalah sangat relevan dan baik. Tetapi seorang yang sangat bijaksana menganjurkan hal yang berbeda ketika sebuah perusahaan sedang dirundung konflik "gajah bertarung lawan gajah,pelanduk mati ditengah" ; Nasehat orang bijak itu berbunyi,"...Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar. Dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas.." ; Pelanduk yang pintar memang selalu lolos dari terjangan gajah yang saling bertarung,tetapi sepanjang hayat dirinya akan dianggap sebagai berperangai licik dan tak bermoral. Lebih baik kita harus merelakan diri untuk menjadi pelanduk yang mati ditengah demi sebuah kebenaran dan berharap para "gajah" berhenti bertarung. Dengan menjadi "martir" tidak pernah ada kerugian,sebab kebesaran sebuah nama bukan ditentukan oleh "saat kini" tetapi saat dimana orang itu nanti mati.

Oleh karena itu,janganlah pernah berhenti memberi nasehat dan berperilaku benar dihadapan "gajah" ; Sebab siapa tahu anda akan menjadi 'pelanduk yang mati ditengah" dan bukan kambing yang di cat hitam atau pelanduk yang bisa berubah menjadi katak. Tidak perlu malu untuk berkata benar dan berperi laku apa adanya,daripada sebuah kepura-puraan melahirkan kebohongan yang menjadikan manajemen perusahaan anda hancur .

Be yourself.........!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline