Sedianya tulisan ini sudah posting pada Hari Kartini 21 April bulan yang lalu. Namun mengingat banyak hal yang harus diprioritaskan, posting akhirnya harus rela pending hingga lebih dari dua pekan. Tapi, gak ada ruginya, posting yang tertunda tersebut masih aktual hingga hari ini --dengan sedikit edit dan merubah judul, tentunya-- mengingat materi yang diangkat tidak jauh-jauh seputar bahasan tentang ‘haol’, Haol Gedongan yang akan berlangsung pada tanggal 08 Mei 2010 akhir pekan ini. ***** Dalam Mauidzah hasanah yang disampaikan pada Haol KH. Muhammad Said, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan tahun 2008, Gus Mus (Panggilan KH. Mustofa Bisri, seorang kiyai penyair, yang juga pelukis asal Rembang, Jawa Tengah) menuturkan di depan ratusan zairin akan kekagumannya pada sosok manusia pilihan, yang kurang lebih dapat penulis bahasakan demikian : “...... di dunia ia sedikitnya ada 3 manusia utama yang pernah ada. Pertama Nabi Isa as., kedua Nabi Muhammad saw., dan ketiga Raden Ajeng Kartini”. Kemudian setelah mengambil nafas sejenak, Gus Mus melanjutkan dengan pertanyaan yang dijawabnya sendiri : “Kenapa beliau-beliau disebut sebagai manusia utama?! Karena beliau-beliaulah yang (oleh kaumnya) hari lahirnya setiap tahun diperingati dan dirayakan!” tegas Gus Mus menggebu. Sayangnya, memori penulis tidak terlalu brilian untuk mengingat semua ulasan Gus Mus di malam haol itu. Namun intinya, seperti itulah : bahwa manusia-manusia utama adalah beliau-beliau yang senantiasa dikenang di hari kelahirannya, bukan semasa hidupnya seperti pada perayaan “hari ulang tahun”, tapi justeru sepeninggalnya dari alam dunia. Seakan ingin disampaikan pesan bahwa kelahiran “manusia utama” adalah tonggak sejarah peradaban. Seperti yang kita ketahui bahwa tanggal 25 Desember --terlepas dari kontroversi haq atau bathil-- dirayakan hari “Natal” karena Jesus Christ (alihaksara dari bahasa Yunani yang dalam bahasa Arabnya Isa Al-Masih) konon dilahirkan. Dalam Islam, bulan Rabi’ul Awwal disebut sebagai bulan Maulid, artinya bulan kelahiran. Karena pada tanggal 12 di bulan tersebut, junjungan kita Nabi Muhammad saw. lahir di muka bumi. Dan kita juga tidak lupakan bahwa setiap tanggal 21 April bangsa Indonesia mempunyai helat nasional “Hari Kartini”, karena pada tanggal di bulan tersebut, lahirlah seorang wanita bernama Kartini yang kemudian dinobatkan sebagai pahlawan emansipasi. Hari Kartini sendiri dikenal setelah keluarnya SK Presiden RI No. 108 Tahun 1964, tanggal 02 Mei 1964 tentang penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan hari lahirnya (21 April) dijadikan peringatan sebagai hari besar. Sekilas RA. Kartini Raden Ajeng Kartini terlahir 129 tahun yang lalu di Jepara, Tanggal 21 April 1879. Kehidupan anak ke-5 dari 11 saudara ini penuh dengan perjuangan. Saat memasuki usia 12 tahun putri pasangan R.M.A.A Sosroningrat dan M.A. Ngasirah ini mulai dipingit, dan saat itulah perubahan-perubahan paradigma dalam berpikirnya semakin berkembang dan kritis seiring dengan terbiasa berkoresponden dengan teman-temannya di Eropa (Belanda) dan bersentuhan dengan berbagai lapisan masyarakat dan agamanya (Islam) yang banyak menerangkan tentang kemuliaan seorang perempuan. Kartini menikah secara “terpaksa” pada tanggal 12 November 1903 dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Namun “keterpaksaannya” bukan tanpa tujuan tetapi didasarkan atas satu cita-cita mulia yang membuatnya mendapat julukan sebagai “Pelopor kebangkitan perempuan pribumi.” Beliau meninggal di usia yang masih sangat muda yaitu 25 tahun di Desa Bulu, Rembang, pada 17 September 1904, ketika melahirkan anak pertama dan satu-satunya karena mengalami komplikasi, salah satu pemicunya adalah preeklamsia. Pasca meninggalnya, J.H. Abendanon, selaku Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada waktu itu (1900-1905) “merekontruksi” surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa menjadi sebuah buku. Door Duisternis tot Licht demikian judul buku tersebut dalam bahasa Belanda yang berarti “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Pandangan-pandangan kritis yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap pemerintah belanda akan agamanya (Islam) yang pada waktu itu salah satu politik “misionaris” Belanda adalah tidak diperbolehkan menterjemahkan dan mentafsirkan Alquran dengan alasan “Kitab Suci” dengan tujuan tersembunyi agar umat Islam semakin bodoh dan tidak paham akan agamanya sendiri. Melalui surat tersebut beliau mempertanyakan : “Mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami” “Bagaimana mungkin kami bisa mencintai agama kami, mengamalkan, mengajarkan, memperjuangkan dan membela agama kami (Islam) jika kami bodoh (karena pemerintah Belanda melarang menterjemah dan menafsirkan Alquran)”. [Habis Gelap Terbitlah Terang, Armijn Pane, Balai Pustaka, 1978. Hal. 45] Sindiran lainnya tentang “agama” yang menjadi dasar penjajahan Belanda yakni aksi misionaris yang mereka lakukan. Beliau menyatakan : “Dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” R.A. Kartini telah berkembang menjadi perempuan yang taat beragama, ekspresif, sadar akan kedudukannya sebagai seorang perempuan yang dimuliakan dalam Islam, emansipasi yang tidak keluar dari aturan agama yang telah salahkaprah pada saat ini dengan mengatasnamakan beliau terlebih masalah gender equality yang malah menurunkan bahkan melecehkan harkat dan martabat seorang perempuan. Terminologi Maulid dan Haol bersambung ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H