Lihat ke Halaman Asli

Nasionalisme yang Getol Membela Tuhan

Diperbarui: 10 Januari 2018   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Princess Gladys Ingrid - blogger

Dalam konteks kontemporer, rasa "nasionalisme" di negara ini, sudah tidak lagi sekuat dentuman syair Proklamasi. Nasionalisme bahkan tak semerdu lantunan lagu Indonesia Raya. Rasa nasionalisme sepertinya memang sudah menjadi redup dalam bayang-bayang religiusitas yang salah kapra. Rasa nasionalisme sudah tidak lagi bisa diwujudkan sebagai semangat membela NKRI, tetapi ia justru berubah wujud menjadi semangat untuk "membela Tuhan".

Ya, membela Tuhan! Ini adalah semangat segelintir orang di medan merdeka ini yang mengatasnamakan agama, demi menonjolkan rasa nasionalis buta dan brutal. Sikap membela Tuhan, semestinya tidak bisa dipersandingkan dengan konsep nasionalis. Mengapa? Sebab agama dan negara adalah dua hal yang substansialnya sangat berbeda. Seharusnya, dengan berlindung kepada Tuhan saja, maka umat secara ekslusif, sudah dapat membela Tuhannya melalui kehidupan agama yang penuh cinta kasih dan damai sejahtera, tanpa ia harus berbenturan dengan kekerasan.

Sikap nasionalis memang suatu wilayah yang amat berpotensi untuk bercokolnya kelompok-kelompok garis keras demi mempertahankan ideologi suatu agama dengan cara-cara keji.  ISIS misalnya, berjuang atas nama Islam dengan tujuan utamanya untuk membangun negara khilafah melalui pemberontakan pada semua sistem negara. Mereka pun membunuh orang-orang yang tak berdaya atas nama Tuhan. Pelaku-pelaku bom bunuh diri, yang kerapkali merongrong ketentraman dunia internasional, bahkan sampai memecah-belah persatuan berbangsa di Indonesia (kasus bom Bali, Samarinda, Jakarta, Poso, Ambon, Aceh, Papua, dll),  semua perbuatannya itu dilakukan dengan tanpa henti-hentinya membela Tuhan dan mengatasnamakan ajaran agama tertentu, demi untuk mendirikan sebuah Negara-Agama di muka bumi ini. Tentu saja, gerakan-gerakan ini lebih diakibatkan oleh rasa nasionalis dan fanatisme agama yg dilakukan secara simultan.

Apa itu Nasionalisme?

Pada awal kemunculannya, kebanyakan kalangan lebih memandang nasionalisme sebagai suatu kebaikan yang cinta akan negerinya sendiri. Mencintai negeri sendiri, berarti sikap nasionalistis. Maka kemudian, banyak kredo nasionalisme pun bermunculan. Bahkan sampai menjadi jargon-jargon politik beberapa partai, hingga agama pun tak luput dengannya.

Seiring munculnya negara-bangsa, timbullah pemikiran tentang nasionalisme sebagai basis filosofis terbentuknya negara-bangsa tersebut. Di negara-negara Barat (Eropa), nasionalisme adalah wujud perlawanan terhadap feodalisme, yaitu kekuasaan absolut yang dimiliki pemuka agama dan bangsawan. Namun ketika konsep ini bersemayam di bumi pertiwi, Indonesia tumpah darah kita, rasanya justru berbanding terbalik dengan rasa nasionalisme yang terjadi pada negara-negara barat tersebut. Nasionalisme yang berlaku di negara Indonesia, adalah wujud persetujuan terhadap feodalisme dengan seperangkat aksi-aksi masa yang getol membela Tuhan. Dan memang, nasionalisme pada saat sekarang ini, cenderung lebih merujuk pada pemahaman politik yang berlandaskan cita rasa nasionalisme secara etnik dan agama (keagamaan).

Lalu, apa itu nasionalisme? Nasionalisme berasal dari kata nasci yang artinya dilahirkan. Awalnya nasionalisme digunakan untuk menandakan (memberi tanda) sekumpulan orang yang disatukan atas dasar tempat kelahiran. Bersatu karena suatu ikatan emosi satu tanah kelahiran. Nasionalisme selanjutnya berkembang dalam bahasa Inggris dari kata nation, yaitu paham yang cenderung menciptakan, sekaligus mempertahankan kedaulatannegara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama dalam sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional. Dapat dipahami bahwa, nasionalisme itu sebuah rasa  yang ingin mempertahankan negaranya, baik dari segi internal maupun eksternal. Orang-orang nasionalis, menganggap bahwa negara lebih didasarkan pada beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari kajian teori romantisme yaitu "identitas budaya" yang terjadi perdebatan, di mana paham liberalisme menanggapi dengan kebenaran politik yang adalah bersumber dari kehendak rakyat.

Menurut Wikipedia (2017), ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan ini pun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasananya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. 

Dampak Kekeliruan Sikap Nasionalisme

Pada abad ke 18, tepatnya di negara Perancis, konsep nasionalisme mulai dipolitisasikan oleh masyarakat menengah yang di dalamnya didominasi kaum subjek. Kaum subjek merupakan rakyat Perancis, namun posisinya bukan sebagai citizen (warga negara). Meskipun kaum ini mempunyai kewajiban kepada Negara, tetapi mereka tidak memiliki hak sebagai citizen. Nasionalisme mulai digelorakan ketika itu oleh kaum subjek untuk menuntut kejelasan sebagai citizen. Buntutnya terjadi revolusi Perancis. Perlu diketahui pada waktu itu Perancis di bawah bayang-bayang absolutisme Louis XIV. Pada waktu itu Louis XIV mengeluarkan ucapan yang sangat kontroversial yaitu: l'etat c'est moi (Negara adalah saya), dan masyarakat hanyalah sebuah subjek.

Nasionalisme yang sangat berlebihan, memang akan memunculkan rasa chauvinisme, yaitu rasa cinta negara yang over dosis (berlebihan). Dan pada akhirnya akan mendorong terjadinya pemberontakan hingga berakhir pada perang. Cinta negara yang berlebihan (chauvinis) juga mengakibatkan munculnya pertemuan sikap national interest  (kepentingan nasional) dengan sikap religious interest (kepentingan agama) untuk mempertahankan status quo. Dampak dari chauvinisme ini dapat di lihat dari sejarah ekspansi nazi yang berpangkal pada anggapan bahwa ras arya adalah yang paling unggul, dan melakukan genocide atas ras lain untuk menciptakan tatanan masyarakat yang superior.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline