Lihat ke Halaman Asli

Abdy Jaya Marpaung

Lihat, dengar, nulis

Misteri Cincin Besi Putih

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_36971" align="alignleft" width="241" caption="wow..."][/caption] Noglong sumringah. Permohonannya untuk pulang kampung diizinkan si Bos tempat ia bekerja. Karena jarak dari kantor ke terminal bus sangat jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Noglong lalu menyuruk-nyuruk ke kolong kaki Jumpret, memohon agar mau mengantarkannya ke terminal bus dengan menggunakan bus kantor. "Okelah, sekalian aku mau sarapan." kata Jumpret setuju. Perjalanan pagi itu rasanya semakin lama saja. Apalagi di jalan penuh dengan kendaraan roda empat, roda dua dan yan gak ada rodanya (pejalan kaki). Pantesan... Ini kan jam masuk sekolah dan ngantor. Kata Noglong dalam hati. Wajah Jumpret cengangap cengengep. Mulutnya udah mirip mulut ikan mas koki. "Kita sarapan dulu ya No? Perutku udah laper nih." O... Jadi udah kelaparan. "Apa gak nanti aja. Selesai kamu ngantar aku ke terminal." Noglong mengajukan pilihan. "Kamu lihat aja sekarang. Dimana-mana macet. Mending kita sarapan dulu." Tawaran Noglong mental. "Ya udah lah." Jawab Noglong pasrah campur lapar juga. Jumpret memutar haluan ke kanan menuju stadion Teladan. Jumpret hafal semua tempat sarapan di kota Medan. Salah satu tempat sarapan favoritnya tepat di depan stadion Teladan. Markasnya PSMS. "Sejak sekolah dulu, aku selalu sarapan di sini No." Kata Jumpret sambil menyedot bubur kajang ijo dari sendok. "Oo... Apa emang istimewanya?" "Murah. Semangkok cuma 2500." Pantes "Kak. Tamboh ya!" Jumpret menyodorkan mangkoknya. "Jauh-jauh ke Stadion Teladan cuma nyari bubur murah." Kata Noglong. Tapi gak kedengaran Jumpret dan penjual bubur. Noglong cuma makan satu mangkok. Itu pun rasanya sudah kenyang sekali. Sampe jadwal BAB-nya jadi berubah. Harusnya siang nanti dia biasa nyetor. Tapi pagi ini kok udah mules. "Kau kenapa?" Jumpret melihat ketidakenakan di wajah Noglong. "Eh... Anu. Di sini ada WC nggak?" Noglong memegangi perutnya. "Bah... Mana ada. Mau berak ya?" "He eh." Jawab Noglong malu-malu kucing garong. "Dimana ya?" Jumpret menatap ke arah stadion. Tidak ada. Lalu menatap ke Penjual bubur. Tidak ada juga. "Yang paling dekat disini dimana? Udah kebelet ni..." "Ayo lah kesana aja." Jumpret beranjak diikuti Noglong. Kemana? Jumpret tak menjelaskannya. Mereka sudah kembali ke dalam bus dan meninggalkan warung bubur murah itu. Mereka berhenti di depan sebuah rumah berkonstruksi papan. Lalu berjalan dari lorong samping. Ketemu lorong lagi. Belok kanan, ada lorong lagi. Terus belok kanan lagi. Nyampe deh. "Rumah siapa ini Jum?" "Rumah tetanggaku. B***k dibelakang ya. Ntar masuk ni kedalam. Sampe dapur belok kiri. Teruuuuusss aja. Pokoknya nanti disitu ada WC." Noglong melarikan diri ke belakang mengikuti instruksi Jumpret. Loh? Kok cuma sumur aja. Noglong melangkah lagi. Ia menemukan pintu dan membukanya. Loh? kok sumur lagi. "Ini kan udah sumurnya tetangga?" Pandangannya tertuju ke depan sumur. Ada bangunan yang hampir porak poranda tapi masih ada pintunya. "Ooo... Ini dia." Girangnya dalam hati setelah melihat ada lubang di lantainya. "Loh. Gak ada airnya." Noglong balik lagi ke sumur. Menimba. Lalu membawa ember ke dalam WC. Masalah muncul kembali. Noglong kesulitan jongkok karena pijakan WC sudah berantakan. Susah nyari PW (posisi wueenak). Mungkin WC ini habis dibal-bal angin puting beliung. Pikir Noglong dalam hati. Sambil ngeden. Noglong menggeser potongan-potongan seng yang tak karuan itu agar lebih kelihatan rapi. Jika ada orang dari luar. Pasti langsung dapat menatap tubuh Noglong yang sudah separuh bugil. Saatnya melakukan prosesi pembersihan. Noglong membuka cincin yang terpasang di jari manis tangan kirinya. Cincin besi putih bermahkota batu berwarna merah jambu. Sebuah cincin yang didapatnya di sebuah rumah saat membantu teman kantornya pindah ke rumah kontrakan. Cincin itu harus terlindungi dari kotoran apa saja. Termasuk kotoran Noglong sendiri karena tangan kirinya harus menjalankan kewajiban istinja'. "Aduh. taruh dimana ya. Oh, disini saja." Noglong mencemplungkan cincinnya ke dalam ember. Ia meraih air di ember dengan gayung dan mulai mengguyur selangkangannya. Selesai. Ia berdiri dan menatap gunungan kotorannya yang hampir menutup lingkaran lobang saluran pembuangan dan kemudian menyiramnya segayng, dua gayung, tiga gayung. Loh, susah juga ternyata. Kotoran itu masih setia menempel. Tampaknya tidak bisa pakai gayung karena tekanan air kecil. Noglong lalu mengangkat ember. BYUURRRR!!!! Raib seketika. Noglong puas lalu meninggalkan WC puting beliung itu dengan langkah gontai. Ia menatap WC itu kembali. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dihatinya. Tapi ia tidak tahu apa itu. Jumpret dan Noglong bersatu kembali. Naik ke bus dan wussss... Terminal Amplas sudah menanti di depan Noglong. Terminal bus kebanggaan kota Medan. Tapi perasaan tidak enak masih menyertainya. Noglong menatap arlojinya. "Walah... Cincinku kok gak ada." Noglong terperangah mendapati jari manisnya telanjang. "Dimana ya cincinku?" Noglong mencoba merekonstruksi ulang kapan terakhir kali dia memegang cincin itu. Barulah kemudian ia menemukan jawabnya. Saat itu cincinnya ia masukkan ke ember, lalu ia menuang seluruh air di ember itu untuk menghanyutkan kotorannya. Dan tentu saja cincinnya hanyut bersama kotorannya. OH MY GOAT..! Noglong teringat kambing di rumah. (gak nyambung) Noglong pun merelakan kepergian cincin besi putihnya menelusuri pipa-pipa saluran jorok itu. Siapakah nanti yang menemukan cincin itu? Sebuah misteri yang tak terjawab. based on true story




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline