[caption id="attachment_112892" align="aligncenter" width="500" caption="Ramainya jalan di daerah Lapang, Aceh Barat pasca gempa - dok. pribadi"][/caption] Gempa di Sinabang menjelang azan subuh benar-benar mengagetkan kami. Guncangannya benar-benar terasa hingga aku dan teman-teman yang saat itu sedang bergadang beranjak keluar rumah. Di luar sudah banyak tetangga dan warga lainnya berhamburan. Ada yang jongkok ada pula yang sibuk menghubungi sanak keluarganya. Kulihat ke atas, kabel tebal listrik berayun-ayun. Kulihat kebawah, air got berombak. Gempa sempat menggoyang kami lebih kurang dua tiga menit. Setelah reda, kami kembali ke dalam dan segera menghidupkan televise. Ternyata hampir seluruh stasiun televisi sudah mendapatkan berita dimana pusat gempa berada. Sinabang, 7.2 SR, belum diketahui korban jiwa dan kerusakan material. Lagi-lagi Aceh menjadi langganan gempa. Saya yang saat ini bersemayam di Meulaboh merasa kecut, membayangkan air tsunami menghantam kota kecil ini. Di sinilah korban terbanyak kedua yang ditelan air bah raksasa setelah Banda Aceh pada 2004 lalu. Stasiun televisi terus menggali informasi baik dari krunya yang ada di daerah-daerah di seluruh Aceh dan Medan membuat mata kami tak berkedip. Dering handphone pun tak berhenti mulai dari keluarga hingga sms teman-teman menanyakan kabar. Alhamdulillah, jaringan komunikasi tidak bermasalah. Listrik pun tidak padam. Tidak seperti di Banda Aceh dan Medan yang mengalami pemadaman. Mendengar penjelasan dari pihak BMG, hatiku semakin kecut. Gempa ini berpotensi tsunami. Sekira pukul tujuh pagi, kami berkemas untuk mencari tempat yang lebih aman. Desa Blang Beurandang menjadi tujuan kami karena daerahnya berada di dataran tinggi. Pada awalnya kami tetap ingin berada di Meulaboh. Namun pimpinan tempat kami bekerja yang posisinya berada di Medan menyuruh kami untuk mengasingkan diri sejenak. Potensi tsunami itu menjadi alasan kuat untuk kami segera mengamankan diri dan melajulah kami kesana dengan mobil kantor. Alhamdulillah, potensi tsunami dicabut. Namun warga sudah kadung khawatir. Ditambah lagi ada orang-orang yang tak bertanggungjawab menyebarkan isu air laut surut. Di beberapa titik jalan menjadi macet. Salah satunya di daerah Lapang. Di sini kami terpaksa merayap-rayap seperti siput karena jalanan sudah penuh dengan warga yang naik (ke daratan yang lebih tinggi) dan yang turun (arah ke kota Meulaboh). Ditambah lagi anak-anak sekolah yang berpulangan karena jam belajarnya dihentikan pihak sekolah. Dari yang kusaksikan di sepanjang jalan. Kebanyakan warga Meulaboh tidak nampak panik, aktivitas perekonomian tetap berjalan seperti biasa. Hanya memang banyak warga yang berkumpul di pinggir-pinggir jalan. Berbagi informasi. Pihak aparat keamanan juga cepat tanggap menjaga titik-titik yang rawan macet dan di setiap persimpangan lampu merah. Aku sempat bertanya pada beberapa aparat kepolisian yang mengatur kelancaran lalu lintas dan mereka memastikan kondisi sudah aman. Terimakasih pak Polisi. Kamipun kembali ke rumah dengan tenang. Terimakasih Allah yang memberikan peringatan dan tanda-tanda kekuasaanNya pada kita semua. Semoga menjadi pelajaran yang berharga untuk tetap memelihara rasa takut pada-Nya. Aku sempat merekam pergerakan warga pasca gempa, lihat di bawah ya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H