Kehadiran penantang hebat seperti Anies Baswedan dan Ahok adalah ketakutan Gibran dalam Pilwakot Solo karena ia tidak berkenan mengikuti jejak Agus Harimurti Yudhotono (AHY).
Mantan Cagub DKI Jakarta ini menanggung malu karena ia dituding mendompleng nama Presiden SBY kemudian gagal sedangkan Gibran mendompleng nama Presiden Jokowi, haruskah gagal pula. Kegagalan AHY membuat istana belajar dalam skenario pilwakot solo yang ideal.
Pertama, analisis pembatasan politisi handal dengan merebut dukungan parpol kepada Gibran. Ketakutan Gibran dapat teratasi namun terdapat bahaya baru mendatang karena Gibran takut kalah melawan kotak kosong. Apa yang terjadi jika Gibran sebagai Paslon tunggal kalah dengan Kotak Kosong?
iii
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah, apabila terjadi kekosongan kepemimpinan di daerah solo, maka ditunjuk pelaksana tugas (plt) kepala daerah. Tentu ini sesuatu yang tidak diharapkan dalam pilwakot solo.
Di mana hal ini, yang berhak melakukan penunjukan yakni Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Fenomena borongan partai politik atau koalisi gemuk untuk mengusung bakal pasangan calon menjadi penyebab utama munculnya calon tunggal.
Kedua, Apabila masyarakat tak setuju dengan keberadaan calon tunggal ini, bisa jadi mereka akan lebih memilih kotak kosong dan sepakat satu suara untuk memenangkan kotak kosong ini. Kotak kosong ini dapat menjadi simbol perlawanan publik terhadap kepentingan para elite politik. Oleh karena itu diversifikasi pilihan dibuat artificial dalam pilwakot solo.
Paslon lain harus hadir dengan rendah popularitas dan kualitas dibandingkan Gibran. Bakal calon independen dalam Pilkada Solo, Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo) dinyatakan memenuhi syarat. Meski belum resmi diumumkan, jumlah tersebut sudah melampaui kekurangan berkas pada tahap sebelumnya, yaitu 7.241 dukungan. Ketakutan Gibran batal untuk melawan kotak kosong berhasil dalam skenario pilwakot solo.
Alur muslihat menjadi bias dan hebat masyarakat banyak pilihan dengan Gibran paling menonjol dengan privilage anak presiden sedangkan mereka hanya sumber pemeriah pesta demokrasi. Namun bayang-bayang kampanye Gibran dibanding-bandingkan Jokowi sampai kelak diakhir jabatannya.