Lihat ke Halaman Asli

ABDURROFI ABDULLAH AZZAM

Intelektual Muda, Cendikiawan Pandai, Dan Cinta Indonesia

Uang sebagai Alat Ukur dan Nilai Kemenangan Pilkada

Diperbarui: 28 Juli 2020   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Ilustrasi politik uang sebagai pendekatan dalam pilkada saat pandemi covid-19 | Merdeka.com

Pemerintah bersama DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sepakat menyelenggarakan PILKADA pada 9 Desember 2020. Namun Alat ukur dan kemenangan PILKADA 2020 dari uang. Karena uang sangat dibutuhkan masyarakat saat pandemi covid-19 dimana ekonomi sedang tidak baik-baik saja.

Uang sebagai komoditas kampanye dan tolak ukur kemenangan PILKADA 2020. Dengan kata lain, dengan kenyataan nilai diatas kertas (uang) sebagai alat transaksi politik karena masyarakat sulit untuk suatu gagasan dan program begitu abstrak dan relatif opsional keberlangsungan hidup mereka.

Uang Sebagai alat ukur yang mewakili nilai kemenangan PILAKADA 2020 karena kedermawan politisi yang nyata terhadap masyarakat. Lebih dari itu, pencitraan dermawan melalui pengenalan-pengenalan dengan membawa amplop berisi uang kepada masyarakat.

Manakalah seorang calon kepala daerah pelit kepada masyarakat. Berarti calon kepala daerah itu tidak hanya dikenal pelit tapi masyarakat memberi kepercayaan pada yang "dermawan".

PILKADA  secara langsung jelas membutuhkan biaya dari sponsor baik oligarki yang memiliki modal ekonomi,sokongan perusahaan swasta untuk proyek daerah, dan investor asing (foreign investor) untuk eksploitasi alam ketika terpilih di daerah.

Demokrasi Indonesia rapuh modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya tahapan kampanye karena uang, mereka disebut "Pasukan Nasi Bungkus". Uang menjadi "penggerak" dan "pelumas" yang dipakai oleh "Pasukan Nasi Bungkus"di Indonesia.

PILKADA tidak bisa diperoleh melalui "jalan pintas" untuk mencapai kemenangan kecuali dengan modal uang yang melimpah. Uang adalah alat untuk mendapatkan kekuasaan sedangkan kekuasaan untuk mengembalikan modal saat kampanye berlangsung.

Kemenangan ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Suara terbanyak bisa dibeli dengan mereka yang memiliki uang terbanyak. Penempatan jabatan kepala daerah oleh mereka yang banyak uang berbeda antara satu orang bukan dari golongan anak pejabat dan pengusaha dengan orang lain karena mereka harus meyakinkan lebih kepada masyarakat di daerah.

Peluang terpilihnya pasangan kandidat dari anak muda akan sulit bila mereka bukan titipan istana ataupun pengusaha karena semua itu merupakan bagian dari proses yang kompleks. Maka tidak bisa dikatakan salah sebagai hasil hanya dari kemenangan pilkada bila Gibran, Bobby, Azizah, Anne dan lain-lain masuk konstelasi politik seperti keluarga cendana pada orde baru.

Dengan mengikuti konstelasi politik PILKADA dengan dukungan tidak hanya politik tapi ekonomi, jarak kemenangan bagi aritokrasi adalah waktu. Pemerintahan para aritokrat kemudian dipilih oleh rakyat sebagai legalitas dalam demokrasi. Sebanyak mungkin menggalang koalisi partai politik dengan modal yang dimiliki.  Gagasan kekuatan pikiran akan kalah ketika perut kosong dan uang mudah diterima khalayak ditengah pandemi covid 19.*

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline