Lihat ke Halaman Asli

Antara Menulis dan Bercerita

Diperbarui: 21 Februari 2021   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

inti dari postingan ini adalah menulislah dan berceritalah. sebenarnya saya cuma ingin bilang gitu, tetapi kebiasaan orang-orang sekarang kalau tanpa penjelasan rasanya kurang masuk akal. ya, apa-apa kok rasanya harus melalui saringan bernama logika dan rasional.

"lah, bukannya emang begitu?"

iya juga, tetapi itu bukan satu-satunya. terutama jika melihat secara historis, peradaban kita yang (konon) terkenal adiluhung itu, peradaban timur, dibangun atas dasar pemahaman intuitif. atau spiritual, metafisik, keyakinan, atau apapun terserah kamu menyebutnya apa.

logika memang penting, dan bagus-bagus saja anda menguasainya. tetapi jika cuma mengandalkan logika (dan hal-hal rasional lainnya), maka setiap orang akan berdebat mengenai kebenaran mereka masing-masing. mungkin saja, itu sebabnya sekarang banyak sekali hal-hal viral dan mendapat komentar netizen itu kadang-kadang terasa tidak penting-penting amat. frasa "terasa tidak penting" ini soal rasa, atau apa-apa yang tidak memenuhi prioritas utama terdekat kita masing-masing, yang tentu satu sama lain nisbi berbeda.

terlebih kalau kita sedikit menengok ke belakang, kita tentu ingat bagaimana pola pengajaran yang dilakukan oleh orang tua kita, guru-guru kita. terlebih guru-guru berupa kiai. sekali santri tidak patuh pada dawuh kiainya, ia nisbi merasa bersalah, perasaannya diliputi was-was, kecemasan akan bagaimana jika sang kiai tidak lagi menyayangi kita sebagai santrinya, dan seterusnya ---atau dalam istilah lain lebih kita kenal sebagai "ngelmunya tidak barokah".

pola pengajaran semacam itu sudah lumrah dalam peradaban timur. seorang guru biasa menyembunyikan khasiat tertentu, manfaat tertentu, yang tentunya demi kebaikan seorang murid dengan cara meringkas penjelasannya. mungkin tidak persis, tapi hal itu ilustrasinya begini:

"seorang guru bercerita pada muridnya bahwa ia kehilangan pulpennya. mungkin terjatuh di jalan. lalu guru tersebut menyuruh muridnya untuk mencarikannya. karena itu adalah permintaan sang guru, sang murid bergegas mencarinya meski dengan bekal "ancer-ancer" seadanya.

"singkat cerita sang murid sampai seharian mencarinya, dan sayangnya, tidak ketemu. kemudian dengan perasaan sedih ia menghadap gurunnya. sang murid dengan apa adanya bilang, setelah ucapan permohonan maaf, bahwa pulpennya tidak berhasil ketemu.

"sang guru pun tersenyum bijaksana. dan menghibur muridnya bahwa tidak apa-apa, serta bilang terima kasih telah mau mencarikannya meskipun tidak berhasil ketemu. mungkin itu belum rezekinya saja. sang murid kemudian ikut tersenyum, undur diri, dan contoh ini berakhir di sini."

apa yang kita dapat dari contoh itu?

pertama, sang murid tidak banyak tanya. ini tentu membuat sang guru menjadi lebih ringan dan tidak terbebani dalam meminta tolong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline