Lihat ke Halaman Asli

Abdurrahman

Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Politik Itu Pasti Transaksional, Jika Politik Mahal Itu yang Salah Partai atau Sebab Politisi yang Ditinggalkan Bandar

Diperbarui: 15 September 2022   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bernegara itu sesederhana berkeluarga, sistem sosial atau sistem kekerabatan terbentuk secara alami atas dasar kebutuhan. Pada pemahaman ini saja saya heran kenapa politik itu mahal. Jika ditelusuri ternyata hanya persoalan mendapatkan kekuasaan atau proses suksesi yakni Pemilu.

Pemilihan umum dengan pemilihan langsung atau rakyat warga masyarakat menyerahkan kekuasaannya untuk mengatur kebutuhannya pada wakilnya setiap individu pada individu yang akan mewakilinya menjalankan kekuasaan pengaturan kebutuhannya. Dari pemahaman ini pun tidak ada kesan politik mahal.

Setiap rakyat warga masyarakat patungan untuk membiayai kebutuhan bersama dalam penyelenggaraan kekerabatan, kekeluargaan, atau kenegaraan dengan menyelenggarakan teknis kebutuhan kekerabatan atau negara tersebut. Semacam sistem perpajakan, namanya berkeluarga atau bernegara fasilitas apa yang tidak ada unsur pajaknya atau membayar, membiayai kebutuhan keluarga.

Selama itu masih butuh orang lain pasti ada unsur timbal baliknya. Artinya wajar semua ada pajaknya, walaupun itu secara tidak langsung. Selama ini mungkin produk pertanian dan perikanan yang tidak ada pajaknya, tapi ketika diolah dan sampai pada orang lain pasti masih butuh peralatan atau bahan yang itu pasti ada unsur pajaknya.

Selama itu berkaitan dengan orang lain akan ada muamalah atau transaksional, bisa dipahami dengan sederhana pertukaran kebutuhan dari surplus pemenuhan. Semacam barter pemahamannya, atas dasar sama-sama saling membutuhkan maka terjadi pertukaran barang ataupun jasa. Saya tidak mengatakan bahwa rakyat tidak butuh wakil rakyat untuk duduk di legislatif maupun di eksekutif atau jabatan pemerintahan secara umum, sehingga terjadi jual-beli yang dikatakan mahal bagi para politisi yang mau menduduki jabatan publik.

Sepertinya ada logika yang salah ketika menyebut politik itu mahal. Apalagi dasar filsafat atau pemikiran bangsa ini dalam bernegara mempunyai faham gotong royong sebagai landasan bertindak atau mengambil keputusan kebijakan dalam sistem kekeluargaan atau sistem kenegaraan.

Baiklah apa yang disebutkan di atas itu adalah suatu yang idealis, setidaknya itulah dasar yang benar. Jika masih mengatakan politik itu mahal pasti dasarnya tidak benar, tentunya salah dalam bernegara atau berkeluarga. Mungkin sebagai orang yang punya keinginan menduduki jabatan publik di republik ini agar berkuasa melakukan hal yang salah untuk mendapatkan kedudukan itu. Sistem negara ini yang salah atau sistem suksesi atau cara perekrutan untuk mengisi posisi jabatan publik yang salah.

Baiklah kita coba mendalami masalah sentimen atau uring-uringan tokoh bangsa ini mulai dari akademisi yang bergelar profesor hingga akademisi sekelas warung kopi di pinggir kebun singkong, pejabat publik ketua kelompok pekerja ngarit padi hingga ketua partai bahkan anggota legislatif dan kabinet, yang semua menggerutu melontarkan politik mahal, bahkan mengaitkan itu penyebab korupsi, pelayanan publik pemerintahan yang lambat, dan lain sebagainya.

Dapat disimpulkan, bahwa yang dikatakan politik mahal ternyata ketika individu mau atau berkeinginan menjadi pejabat publik harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Misal ingin jadi anggota legislatif biaya setoran ke partai untuk pemberkasan, beli suara, pengamanan biaya saksi yang belum sogok KPU dan Bawaslu yang bisa capai miliaran. Pengen jadi komisaris di suatu BUMN harus mengeluarkan sekian miliar, naik jabatan sekian miliar, jadi kepala dinas, jabatan fungsional, apapun di negara ini harus ada sekian juta atau miliarnya.

Tentunya, harusnya tidak hanya politisi dari suatu partai yang menjabat sebagai jabatan publik yang menggerutu atau jadi sorotan dengan kata-kata politik mahal. Semua lapisan masyarakat sepertinya menggerutu tentang keinginan punya status agar berkuasa akan sesuatu yang harus mengeluarkan sekian juta atau miliar. Mobilitas sosial secara vertikal maupun horizontal semua kayaknya butuh biaya sekian juta atau sekian miliar, di negara ini. Bahkan sering kali mendengar, untuk dapat pekerjaan di pabrik harus bayar sekian juta, ini swasta, pengen naik pangkat ke bintang satu butuh sekian miliar. Butuh pelayanan publik di kantor-kantor pemerintahan harus mengeluarkan biaya yang jelas-jelas itu gratis sebab ada anggaran dari pengumpulan pajak. Mau swasta atau institusi negara sepertinya semua yang berkaitan dengan mobilitas sosial ada biayanya. Masalahnya biayanya legal apa ilegal, itu soalnya yang dilainkan dari bahasan ini.

Entah itu pungutan liar atau beli suara, sogokan, tutup mulut, uang dengar dan segala macam sebutan politik mahal. Katanya, kekuasaan yang lemah pengawasannya cenderung korup, apalagi tidak diawasi. Kurang apa coba instrumen pengawasan, mulai himbauan kesadaran, ketegasan aturan dan bahkan hukumannya, sepertinya semua ada. Kenapa seperti ada pembiaran atau pemahfuman, semacam kewajaran suksesi apapun pasti butuh biaya yang tidak wajar untuk meloloskan yang pantas atau tidak maupun individu yang baik atau buruk menjadi pejabat publik atau butuh pelayanan publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline