Musik sangat dekat dengan kehidupan manusia. Dulu sebelum abad 20, jika ingin mendengarkan musik, orang harus berbondong-bondong ke gedung-gedung pertunjukan. Sekarang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kita dapat menikmati musik tanpa harus pergi ke gedung pertunjukan. Bahkan, jika kita mau, kita bisa menikmati musik dimanapun dan kapanpun sesuka hati. Kita juga bisa memilih musik apapun yang kita inginkan.
Menikmati musik di gedung pertunjukan maupun di acara konser musik, tentu tak dapat dilakukan sembarang waktu. Penikmat musik harus meninggalkan dulu rumahnya untuk mencapai tempat pertunjukan. Maka dibutuhkan pengorbanan berlebih untuk sekedar mendengarkan musik.
Tentu ada sesuatu yang berbeda jika kita mendengarkan musik secara langsung dengan tak langsung. Jika menikmati musik secara langsung dengan datang ke tempat pertunjukan, tentu ada keintiman dan kemesraan yang terbangun antara pemusik (orang yang memainkan musik) dengan penikmat atau pendengar. Ada interaksi yang intens, tegur-sapa, tatap muka dan sebagainya. Berbeda jika kita mendengarkan musik secara tidak langsung, misalkan melalui televisi, radio, dan berbagai media elektronik lain, tentu keintiman interaksi antara pemusik dan pendengar akan hilang.
Hal semacam itu sedikit tak berlaku di desa saya. Desa saya mengenal musik hadroh, biasa juga disebut dengan istilah terbanganyang setiap penyelenggaraannya selalu merayakan kebersamaan. Di dalam musik hadroh, dikotomi antara pemusik dengan pendengar menjadi kabur. Artinya, tak ada pemisah antara keduanya. Semua larut dalam kebersamaan.
Musik hadroh memang berasal dari Timur Tengah, namun yang menggirangkan, musik hadroh di desa saya bisa menyatu dengan tradisi setempat. Lirik yang disampaikan mengandung pesan-pesan religius. Penyampaiannya dipadukan antara bahasa Arab dengan bahasa Jawa.
Di desa saya, hadroh hadir di setiap saat dalam pelbagai acara seperti syukuran, khitanan, aqiqah, pengajian, dan acara-acara lain. Bagi masyarakat desa saya, hadroh adalah perayaan kebersamaan. Masyarakat desa berkumpul, musik hadroh mengantarkan kebersamaan melantunkan syair-syair religius dengan mesra.
Religiusitas
Asal kata musik sangat kental dengan nuansa religiositas. Musik berasal dari bahasa Yunani, mousai,yakni sembilan dewi yang menguasai seni-seni murni dan ilmu pengetahuan. Kesembilan dewi itu adalah putri-putri Zeus dan Mnemosyne. Dalam sejarah Yunani, musik menduduki tempat istimewa sebagai perwujudan pikiran dan perasaan. Kebudayaan Eropa sepenuhnya bersumber dari kebudayaan Yunani (Remy Sylado, 1986).
Dalam buku Menuju Apresiasi Musik(Angkasa, 1986), Remy Sylado lebih jauh menjelaskan ketika agama Kristen berkembang di Eropa, dasar-dasar ilmu musik orang Yunani itu jugalah yang dikembangkan. Peranan gereja dan pemuka agama amat besar menentukan kesempurnaan musik.
Dasar-dasar pengetahuan musik Yunani dikembangkan menjadi khas Kristen. Gereja menjadi pusat kegiatan kebudayaan, hingga musik pun juga dikembangkan melalui gereja. Musik Kristen disebut liturgi, dari bahasa Latin, liturgia, artinya doa dalam bentuk nyanyian.
Perkembangan musik lekat sekali dengan religiusitas, musik pada awalnya selalu berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan. Dalam musik kita mengenal aturan tangga nada, ada diatonis dan pentatonis. Kata diatonis dipetik dari bahasa latin, diatonicus,maksudnya nada-nada yang terdiri dari tujuh jenis bunyi, yaitu do re mi fa sol la si do. Penemu aturan diatonis ini bernama Guido Aretinius d’Arezzo, seorang guru sekaligus pastor Katolik dari mahzab Benediktus.