Tulisan ini bukan untuk menjelekkan masyarakat kalangan menengah ke bawah, melainkan mempelajari perilaku mereka dan dampaknya terhadap gaya hidup dan pemikiran mereka. Mayoritas orang miskin tidak suka membicarakan hal-hal berat atau topik yang membutuhkan nalar dan pikiran. Mereka tidak suka bicara politik, militer, sosial, budaya, apalagi masalah filsafat, teologi, agama, pertahanan nasional, dan sebagainya. Mereka suka membicarakan sesuatu yang simple (sederhana), tidak suka hal-hal serius, suka menonton acara gosip dan dangdut, dan tidak suka mengamati perkembangan baik perkembangan regional maupun global. Mengapa? Ternyata semua itu berhubungan dengan kemiskinan.
Mayoritas orang miskin sangat senang dengan sesuatu yang bisa membahagiakan mereka, meskipun kebahagiaan itu sifatnya hanya sementara. Itu terjadi karena dengan mereka bahagia, walau sementara, mereka dapat terlepas dari beban hidup yang berat dan penuh penderitaan.
Mereka dapat melupakan masalah hutang mereka, masalah kredit macet mereka, dan masalah-masalah lainnya. Jika anda melakukan penelitian sosial yang berhubungan dengan masyarakat dan kemiskinan, anda akan mendapati gejala-gejala seperti yang saya sebutkan di atas. Yakni menghindar dari pembicaraan berat dan serius, dan beralih ke sesuatu yang ringan, sederhana, dan membahagiakan. Ketiga sesuatu itu, yaitu sesuatu atau topik yang ringan (tidak berat), sederhana, dan membahagiakan merupakan gejala Escapisme (Pelarian- melarikan diri dari sesuatu).
Escapisme sangat berhubungan erat dengan masyarakat miskin. Escapisme berasal dari kata Escape, yang artinya Kabur/Lari. Yakni melarikan diri dari sesuatu (yang menurut mereka membosankan dan flat) dan mencari sesuatu yang lain untuk membahagiakan mereka, terlepas dari sesuatu itu negatif atau positif.
Escapisme dan masyarakat miskin saling berkaitan dan tidak bisa dilepaskan. Masyarakat miskin menggunakan escapisme sebagai suatu cara agar mereka bisa terlepas dari beban hidup yang berat, secara sementara, dan melakukan "pembenaran" dengan mencari sesuatu yang lain/baru, untuk membuat mereka puas dan bahagia. Walaupun kepuasan dan kebahagiaan itu adalah semu dan bersifat sementara.
Contoh escapisme di kalangan remaja belasan tahun yang dijerat kemiskinan adalah suka keluar malam, nongkrong di pinggir jalan, atau bergabung dengan geng motor, mabuk-mabukan, berbuat mesum, serta jika menjadi supporter sepakbola mereka selalu ricuh dan anarkis (suporter anarkis di Indonesia ada hubungannya dengan escapisme juga). Dan generasi tua juga tidak terlepas dari gejala escapisme, terutama mereka yang dijerat kemiskinan. Tetapi sebenarnya gejala escapisme bisa dihilangkan jika seseorang memiliki iman yang baik, takut kepada Tuhan, dan memiliki moral atau etika yang baik. Otomatis gejala escapisme itu akan hilang dengan sendirinya walaupun dia miskin sekalipun. Karena ada ketenangan dan ketentraman di dalam jiwanya.
Di Indonesia, masih sangat jarang ada kajian serius mengenai masyarakat miskin dan escapisme. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya yakin lambat laun akan ada banyak penelitian ilmiah yang serius yang berkaitan dengan kemiskinan. Dengan adanya penelitian tersebut, kita dapat mengetahui sebab-akibat dari kemiskinan serta mempelajari perilaku masyarakat kalangan menengah ke bawah yang berhubungan juga dengan sosial dan budaya. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa kajian tentang kemiskinan bisa menyentuh topik psikologi sosial dalam masyarakat. Ini penting karena akan membuka mata orang bahwa ada dampaknya dari kemiskinan yang pada akhirnya akan membentuk perilaku, sudut pandang, dan pemikiran orang tersebut.
Kembali lagi kepada topik mengapa orang miskin tidak suka hal-hal berat seperti membicarakan masalah politik, militer, geopolitik, perkembangan global, dan sebagainya? Ini sebenarnya menjadi pertanyaan saya pribadi yang saya tanyakan kepada diri saya sendiri. Ada apa? Apakah penyebabnya adalah kemiskinan. Walaupun tidak 100% betul dan akurat, tapi memang kemiskinan memberikan sumbangsih bagi seseorang untuk menciptakan sudut pandang yang sederhana, ringan, senang, dan tidak menyentuh topik-topik yang berat.
Mereka lebih suka nongkrong dan ngopi di pinggir-pinggir jalan atau di warung-warung makan. Tapi dari pengamatan dan analisa saya, mereka sering membicarakan hal-hal sepele, yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, tanpa berani menyentuh topik yang serius dan berat. Mereka tidak memiliki rasa curiosity (rasa ingin tahu) yang kuat akan sesuatu, mereka tidak questioning (mempertanyakan) sesuatu hal, mereka tidak aware (sadar/paham) , dan tidak criticize (mengkritisi).
Boleh setuju atau tidak, tapi curiosity, questioning everything, awareness, dan critics adalah sesuatu yang membentuk kualitas SDM pada diri seseorang, terutama bagi pengamat, akademisi, peneliti, dan orang terpelajar. Yang jelas saya berani mengatakan bahwa kemiskinan dapat membuat orang tidak bisa berkembang, terutama dari segi perkembangan otak dan kualitas pemikiran mereka. Pernyataan itu bisa anda buktikan jika anda melakukan penelitian ilmiah yang serius.
Bukan karena mereka bodoh, bukan, tapi perkembangan dan sudut pandang tentang kehidupan mereka tidak berkembang karena mereka berhenti belajar. Berhenti belajar dari segala sesuatu dan berhenti belajar dari segala hal. Belajar tidak hanya di sekolah dan di bangku kuliah saja tapi selama manusia masih terus bernafas, kita harus terus berkembang dengan belajar dan mengambil hikmah dari segala hal.