Lihat ke Halaman Asli

Mesin Propaganda Negara

Diperbarui: 1 Oktober 2017   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Propaganda sebenarnya merupakan alat yang digunakan negara untuk mengalahkan musuh yang dianggap menjadi ancaman bagi mereka. Belakangan ini, pemerintah Indonesia, bersama militer, gencar melakukan propaganda. Propaganda ini dilakukan agar menarik dukungan publik yang lebih luas lagi, serta "menghantam" musuh secara psikologis. Tapi, pertanyaannya, musuh itu siapa? Jelas PKI. Pertanyaan selanjutnya, PKI itu siapa? Apakah Jokowi? (Ingat bahwa setahun lalu Jokowi pernah dituduh PKI oleh Kelompok Islam). Apakah PDIP? (PDIP juga pernah difitnah dan dituduh PKI oleh kelompok yang sama), ataukah YLBHI? (YLBHI barusan saja difitnah, dituduh, kali ini bukan hanya dari kelompok islam, melainkan juga dari pihak militer.

Saya setuju bahwa PKI adalah musuh bersama. Komunisme yang dahulu mengakar ke Negeri Soviet itu harus dihancurkan dari Bumi Pertiwi. Dan Negara berhak menggunakan segala sumber dayanya untuk meraih simpati dan dukungan sekaligus menghantam musuh yang disebut PKI itu. Yang jadi persoalan, mengapa Presiden Joko Widodo, PDIP, YLBHI, disebut sebagai PKI? Apakah sebegitu parahnya fitnah yang dilancarkan sehingga menghilangkan hati nurani seseorang? 

Saya beri penyegaran. Ada dua kelompok yang tidak hanya melakukan propaganda, tetapi fitnah yang tak mendasar. Walaupun memang fitnah sebenarnya adalah bagian dari propaganda juga. Dua kelompok itu adalah fasis, dan kelompok Islam radikal. Fasis adalah nasionalis ekstrem. Menghalalkan segala cara bahkan fitnah sekalipun dan menuduh banyak orang yang bukan anggota PKI sebagai PKI. Fasis bisa berasal dari militer maupun sipil. Dan kelompok Islam Radikal adalah jaringan kekuatan islam sunni di Indonesia yang entah mengapa sangat membenci Jokowi, Ahok, Polisi, serta KPK. 

Kelompok Islam Radikal di Indonesia sering memakai media sosial dan internet sebagai sarana penyebaran propaganda dan fitnah mereka. Sering mengedit foto Presiden Jokowi, membuat rekayasa foto, membuat ujaran kebencian terhadap Kapolri, dan sebagainya. Dari penelusuran yang saya pantau di Twitter, Kelompok Islam Radikal secara terbuka mendukung DPR serta Panitia Hak Angket mereka. Mereka juga menyerang KPK dari segala arah di media sosial. 

Kelompok Islam Radikal berharap bahwa dengan mendukung DPR sekaligus menyebar propaganda dan sentimen skeptis melawan KPK di media sosial, mereka berharap dapat membuat KPK menjadi objek yang harus disalahkan. Ujung-ujungnya mereka mempertanyakan rezim Joko Widodo dan menyalahkan Jokowi karena ketidakberesan yang ada dalam tubuh KPK. Ini namanya taktik politik mendukung satu pihak untuk menghancurkan pihak lain.

Sedangkan kelompok Fasis di Indonesia, merupakan orang-orang nasionalis tetapi sangat ekstrem. Dimana kadang mereka terlalu patriotik sampai-sampai harus selalu menyebut orang lain sebagai PKI. Begitupun dengan Kelompok Islam Radikal. Kelompok Islam Radikal juga menganggap setiap orang yang tidak setuju dengan pemutaran film G30S/PKI dianggap sebagai PKI. 

Kelompok itu secara masif melemparkan tuduhan dan fitnah keji seperti itu. Mereka yang tidak sejalan dengan yang dikehendaki dua kelompok tadi lalu dituduh secara keji dan biadab sebagai PKI. Bahkan YLBHI pun dituduh PKI dan para pembicara yang hadir difitnah membabi-buta di dunia maya dengan rekayasa foto yang diedit. Jika saling tuduh-menuduh, bisa bahaya. Jika massa yang beringas sudah tidak bisa lagi dihentikan, bisa terjadi pertumpahan darah karena fitnah yang tak berdasar. 

Terkait pemutaran film G30S/PKI. Oke, siapa saja boleh menonton. Asal jangan dipaksa. Dan jika mau adil, harusnya film senyap juga diputar. Soalnya agar tidak terjadi ketidakadilan dan berat sebelah. Film Senyap yang 2 tahun silam sempat dilarang diputar di Indonesia, faktanya film itu banyak ditonton di banyak negara di dunia. 

Mereka menjadikan film itu sebagai referensi dan bahan kajian, terutama bagi para sejarawan dan pemerhati sosial-politik, militer, serta para akademisi yang menggeluti sejarah. Mereka jelas harus objektif dan tidak boleh puas hanya kepada film-film propaganda versi pemerintah dan militer. Soalnya Yang Menang, Yang "berhak" Menuliskan Sejarah. Yang kalah, Diam dan Mati. 

Menuliskan sejarah sah-sah saja, tetapi jika bertumpu pada sejarah versi pemerintah dan militer saja tanpa berani melakukan kajian ilmiah secara akademis dan historis, maka berarti film-film itu saya sebut sebagai murni propaganda negara. Jika benar-benar adil, mengapa film senyap dilarang? Mesin propaganda negara memang sangat berperan disini.

Di negara barat, Sosialisme dan Komunisme dikaji terus dan dipelajari. Bukan untuk dikembangkan melainkan untuk kepentingan penelitian akademis, terlebih yang berhubungan dengan sejarah, politik, dan militer. Jadi, ini sangat berhubungan dengan kedewasaan masyarakat kita. Di negara berkembang, SDM nya sangat tidak maju, terjebak dalam masa lalu (gagal move on), dan mudah diprovokasi serta dihasut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline