Lihat ke Halaman Asli

Ingin Jadi Pembalap Sukses? Belajarlah dari Banyak Hal!

Diperbarui: 29 Maret 2016   00:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Otomotif. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Mengapa pembalap Indonesia sangat sulit untuk bersaing dengan pembalap luar? Dan mengapa mental sangat dibutuhkan untuk “berkarir” di ajang balap internasional? Dua pertanyaan itu sangat krusial dan penting yang merupakan pertanyaan bagi para pembalap, manajemen balap, panitia penyelenggara balapan, dan bahkan para penggemar balapan. Dengan menjawab dua pertanyaan penting tersebut, maka kita dapat tahu bagaimana sebenarnya fenomena balapan di Indonesia, serta perbandingannya yang mencolok dengan ajang balapan di luar negeri. Berikut pandangan saya.

Sebelum berbicara mengenai fenomena ajang balapan motor, terlebih dulu saya mengkategorikan para pembalap ke dalam dua jenis. Yang pertama, pembalap yang “asal balapan” (casual rider). Yang kedua, pembalap yang serius (regards the races as a carrier). Pembalap yang “asal balapan” dan (maaf) biasanya memiliki kantong tidak tebal, biasanya membalap hanya untuk balapan. Biar murah, yang penting asal bisa balapan. Dan biasanya, para pembalap yang berkarakter seperti ini tidak berjiwa pembalap. 

Pembalap dianggap bukan sebagai karir hidupnya dan tidak memandang balapan sebagai profesi masa depannya. Yang kedua adalah pembalap yang serius. Jenis pembalap yang kedua ini adalah jenis pembalap yang mempertimbangkan segalanya. Ia rela mengeluarkan berapapun dana atau uang untuk dapat berlaga di even-even balapan. Bukan hanya untuk memuaskan hasrat balapan, tetapi pembalap “sejati” akan menganggap bahwa uang yang dihamburkan di awal karirnya merupakan harga yang harus ia bayar sebagai konsekuensi akan potensi karirnya di masa mendatang. Disini, pembalap “sejati” sudah menganggap dirinya bahwa ia benar-benar seorang yang tidak bisa dilepaskan dan hanya berfokus pada balapan.

Ironisnya, di Indonesia, kebanyakan para pembalap (entah itu balap motor atau balap mobil super-sport formula) biasanya masuk ke dalam kategori pembalap musiman. Dalam artian mereka membalap kurang dari 5-10 tahun, kemudian namanya hilang di telan bumi. Atau membalap lebih dari 10 tahun, tetapi hanya sekedar balapan dan tidak ada niatan untuk membalap di ajang internasional. 

Mengapa banyak pembalap di Indonesia (sebut saja para pembalap amatiran yang berlaga di kelas 125/150cc di berbagai even nasional) saya anggap sebagai pembalap musiman. Selain jawaban diatas, jawaban lainnya adalah karena di dalam diri mereka, mereka tidak benar-benar menganggap bahwa balapan adalah masa depan mereka. Ibaratnya orang kuliah, setelah lulus, ia sama sekali tidak bekerja dan hanya nongkrong di depan rumah. Balapan juga seperti itu, jika kemudian pensiun dari ajang balap lalu mencari pekerjaan lain. Mengapa ingin jadi pembalap?

Indonesia sangat memiliki banyak masalah. Kita akui bahwa Indonesia adalah negara yang tidak pernah belajar (maaf jika ini terkesan menyinggung). Tetapi itulah fakta yang saya analisis dan diperparah oleh tidak adanya kemauan besar untuk "belajar". Belajar bukan hanya di dalam kelas. Diluar kelas sebenarnya kita bisa juga belajar. Bisa juga dari ajang balapan. Belajar menjadi manusia yang disiplin. Belajar tepat waktu. Belajar menghargai prestasi pembalap lain. Belajar bersabar dengan hasil yang buruk. Belajar memahami perkembangan motor di dunia. Pokoknya belajar segalanya. Diakui saja, banyak dari kita yang tidak pernah belajar. Intinya belajar menghargai hidup dan mengambil apa yang baik dari hidup ini. Para pembalap tahunya hanya balapan, lalu finish! Itu saja! Yang lainnya tidak dipikirkan. Itulah mengapa banyak yang tidak sukses untuk berlaga di ajang internasional. Atau ada dari mereka yang sukses di even se-Asia, tetapi kalah mental jika berlaga di ajang kasta tertinggi moto3, moto2, atau motogp.

Ini pertanyaan untuk para pembalap!? Apakah pernah mereka memikirkan untuk belajar dari semua itu? Mungkin tidak ada pembalap yang sempurna. Tetapi kebanyakan pembalap di luar Indonesia, semuanya belajar dari kekurangan. Belajar bagaimana kerasnya ajang balapan. Dan bagaimana sulitnya meraih podium dalam sebuah ajang balapan. Tidak terpikirkan bukan? Jelas tidak. Toh yang penting balap, itu tok. Jika sudah begitu, apapun masalah yang terjadi pada hidup ini, yang penting bisa balap. That’s it. Lho, lalu mengapa tidak menjadikan balapan sebagai karir masa depan? Jika itu dianggap sebagai “cara yang ampuh untuk keluar dari kepenatan hidup anda”? Itu karena mereka tidak BERMENTAL MENJADI PEMBALAP KARIR.

Pembalap sangat banyak di Indonesia ini. Yang berkarir di ajang nasional dan even-even balapan se-Asia juga sudah banyak. Tetapi sangat sulit mencari pembalap yang bermental pembalap. Pembalap yang bermental pembalap disini bukan pembalap yang bermental juara. Tetapi benar-benar fokus ke balapan dan bekerja secara profesional. Beradaptasi dengan tim manajemen, mencari informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan balap (khususnya ajang balap internasional), dan memikirkan untuk belajar bahasa inggris. Mungkin yang terakhir (belajar bahasa inggris), anda anggap sepele! 

Tapi tunggu dulu. Itu juga sangat penting mengingat semua pembalap yang berlaga di ajang internasional minimal (secara dasar) tidak grogi jika berbicara bahasa inggris. Bahasa Inggris juga diperlukan untuk mengenai seluk-beluk otomotif, dan istilah-istilah yang digunakan di ajang balap internasional. Bahasa Inggris juga diperlukan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dengan manajemen luar (di laga-laga balap dunia) agar tidak terjadi kesalahpahaman. Well, catatan, bagi para pembalap Indonesia, tidak terpikirkan bukan!? Ternyata masih banyak catatan, koreksi, atau kritikan bagi para bibit-bibit pembalap yang ingin menjadikan balapan sebagai karir profesional dan belajar dari semua hal. Pembalap yang menyepelekan segala sesuatu dan berambisi untuk membalap tetapi tidak ada keinginan sama sekali untuk berlaga di ajang balap internasional. Ibaratnya negeri ini tidak akan pernah bisa mencetak para pembalap bermental dunia. 

Ya, itu tadi. Kepada individu pembalap masing-masing, berpikiran luas, mengerti otomotif, belajar segala hal, memanajemen waktu dengan baik, berambisi untuk menjadi pembalap karir, dan berdoa, adalah sesuatu yang penting. Bukan hanya bagi pembalap, tetapi bagi semua profesi yang kita geluti. Jadi, untuk menjadi pembalap hebat seperti Rossi, Stoner, Marquez, Lorenzo, Ianonne, susah bukan? Mereka bukan hanya asal balapan, melainkan benar-benar belajar dari segala hal. Itulah mengapa memang ada ratusan pembalap yang berlaga di ajang domestik di Indonesia, tetapi sangat susah mencari pembalap yang bermental pembalap sejati. Itu karena mayoritas pembalap tidak belajar dari segala sesuatu! Atau tidak menyadari bahwa mereka sangat tertinggal jauh jika dibandingkan dengan pembalap di luar Indonesia.

Nantikan tulisan berikutnya mengenai fenomena balapan di Indonesia dan perbandingannya dengan ajang balap internasional di artikel berikutnya. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline