Lihat ke Halaman Asli

(Cerita kampus) - 18 September 2015

Diperbarui: 19 September 2015   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah menunggu kira-kira setengah jam di Lantai 3 Fakultas Ilmu Budaya, tiba-tiba sesosok dosen muncul. Wah... (dalam hati serasa tidak percaya), bagaimana tidak, dosen idola saya kembali mengajar di kelas Metode Penelitian yang saya ikuti. Padahal beberapa minggu sebelumnya dosen itu masih belajar di Amerika (studi S2 Comparative Studies). Terakhir saya mengikuti kelas beliau ketika saya mengikuti kelas Introduction to English Culture yang mempelajari seluk beluk budaya Inggris di zaman Ratu Elizabeth dan era-era keemasan Inggris, dan kelas itu adalah di semester 2. 
Metode Penelitian ini menarik, pak Taufan menjabarkan dengan gamblang dan ciri khas banyolannya yang sepertinya sudah aku lupakan. Beliau mengatakan bahwa ideologi adalah false belief dan berulang-ulang memberitahukan kepada mahasiswanya tentang fantasi totalitas (dimana kehidupan ini sebenarnya adalah fantasi, asumsi belaka). Beliau juga menjabarkan mengenai Arbitrary tentang sesuatu apapun dapat dibantah. Tentang Desire (Hasrat/nafsu) yang menjelaskan bahwa sebagai manusia kita selalu merasa tidak cukup, selalu merasa kurang. Akal hanya asumsi dan totalitas adalah fantasi. 
Beliau menjelaskan mengapa tembok dikatakan tembok? Tembok ini (sambil beliau memegang tembok kelas) bisa dibilang hanya cat, bisa dibilang bata, lalu apa tembok itu sebenarnya? Apa yang membuatnya jadi tembok? Semua orang mengatakan itu tembok karena persetujuan , semua sudah menyetujui bahwa itu yang namanya tembok. Namun sebenarnya tembok itu hanya asumsi belaka. 
Di pertengahan ia menjelaskan bagaimana gerakan posmo (post-modernisme) itu sebenarnya terbukti bahwa semua teori matematika dan science keliru. Fakta tersebut didasarkan pada teori asumsi (bahwa semua ideologi dan teori berawal dari asumsi, bahkan sains sekalipun). Hal ini bukan untuk menjelaskan bahwa sains salah, namun beginilah sudut pandang orang sastra. Inilah apa yang dipelajari oleh mahasiswa sastra Inggris, dimana "rasa" lebih penting daripada "akal", dimana dengan "rasa" kita dapat menganalisa cerpen dan novel yang tebal. Rasa amat penting dalam jurusan sastra inggris. Dan pak Taufan juga mengajarkan tentang surealism (surealisme) yang berkaitan dengan eksistensialisme dan membayangkan (imagining). Dalam sastra, hampir semua seniman, sastrawan, pelukis, menolak akal. Mereka (dalam melalukan profesi atau pekerjaan mereka) menolak akal dan lebih menggunakan olah rasa, itulah esensi dari seni. Sastra dianggap sulit karena sastra tidak dapat dibuktikan.
Banyak sekali ilmu-ilmu "gaib" (maksudnya ilmu yang belum pernah terjamah oleh pikiranku, hehe) baru yang baru saya pelajari di kelas ini. Menarik melihat bagamana atau apa yang akan dijelaskan pak taufan di pertemuan selanjutnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline