Lihat ke Halaman Asli

Abduraafi Andrian

karena 140 karakter saja tidak cukup

Basahnya Semarang dan Coping Mechanism yang Bikin Bimbang

Diperbarui: 25 Desember 2019   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai Marina, Semarang (Dok. Pribadi)

Semarang sore ini hujan. Ini hari terakhir saya di ibukota provinsi Jawa Tengah itu sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang dalam rangka liburan akhir tahun. Saya duduk di sebuah kafe setelah membeli sebuah buku yang saya pikir saya perlu membacanya---walaupun tidak butuh-butuh amat.

Hujan yang begitu deras dan alunan lagu Psycho dari Red Velvet yang diputar berulang-ulang bikin saya betah duduk di dalam kafe. Buku pun sudah beberapa halaman dibaca. Sepertinya, saya memilih buku yang benar karena ternyata saya betulan butuh buku itu. Dan saya pikir, buku itu pas untuk dibaca pada akhir tahun seperti ini sebagai bahan kontemplasi dan refleksi diri.

Sebetulnya, saya tidak berencana membeli buku. Tapi entah kenapa, di setiap vakansi saya selalu membeli buku setidaknya satu. Kadang saya membelinya dengan tidak sadar---tiba-tiba buku tersebut sudah dibeli saja. Namun, sering kali saya membelinya karena saya sedang melakukan coping mechanism.

Coping mechanism adalah strategi atasi emosi yang sulit dikelola atau yang tidak bisa dikontrol sehingga menyebabkan stres bahkan trauma. Sebagaimana beragamnya akibat yang muncul dari bentuk-bentuk emosi tersebut, coping mechanism setiap orang pun berbeda.

Emosi yang tidak menentu masih jadi kekurangan saya. Dan strategi paling mudah untuk mengatasinya adalah dengan beli buku. Entah itu bagus karena saya sudah tahu bentuk coping mechanism saya. Atau itu malah buruk karena selain berdampak pada timbunan buku yang semakin menggunung, juga berimbas pada tidak disiplinnya saya dalam mengeluarkan uang. Bagaimana jika emosi tidak menentu saya terjadi setiap hari?

Salah satu tujuan saya selama di Semarang adalah pantai. Tidak salah karena geografi daerah itu berada di pesisir utara Jawa. Saya berekspektasi bisa ke lokasi favorit saya: pantai---di mana pun itu berada. Namun, sesampainya di Pantai Marina, saya hanya bertemu dengan ombak yang dipecahkan oleh bebatuan dan tembok beton beraspal, orang-orang yang memancing entah-apa, dan air laut yang keruh dan banyak sampah.

Anda pasti akan bilang: makanya jangan berekspektasi lebih. Yah, siapa yang bisa melaksanakan itu kalau sudah bersemangat? Saya yang kecewa berat harus cari cara agar vakansi terus berlanjut---dan satu-satunya jalan adalah dengan membeli buku. Akhirnya saya berkunjung ke Gramedia Balaikota dan memutuskan untuk beli buku. Omong-omong, mungkin hanya di Semarang saja yang menggabungkan toko buku dan hotel.

Seusai menulis ini, Semarang masih basah. Pertanyaan tentang hal apa yang bisa gantikan beli buku sebagai strategi coping mechanism saya masih terpatri di benak. Semoga dengan buku yang saya beli dan langsung saya baca tadi serta vakansi yang sedang saya arungi, saya bisa temukan jawabannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline