Nggak ada satu pun manusia yang mau rugi. Dalam hal apa pun. Apalagi dalam urusan berdagang. Pedagang berupaya mencari untung sebanyak-banyaknya. Tapi tidak menutup kemungkinan, sewaktu-waktu boleh jadi ia mengalami kerugian.
Sebenarnya, kerugian adalah hal yang biasa dalam berdagang. Namanya juga berdagang, ada untung dan ada pula rugi. Tapi, kalau terus menerus dapat rugi, boleh jadi ia akan menepi dari dunia perdagangan, alias gulung tikar. Meskipun demikian, bukan berarti ia kehilangan kesempatan untuk menjadi pedagang yang sukses. Kuncinya, asal ia mau bangkit dan menata ulang strateginya.
Begitulah kehidupan manusia. Selagi masih hidup di dunia, manusia masih punya kesempatan. Kalau ia mengalami kerugian, maka ia masih punya kesempatan meraih keberuntungan. Tapi, jika manusia sudah berada di alam akhirat kelak, maka kerugian hanya mengantarkannya kepada penyesalan yang tiada berarti. Pada saat itu barulah mereka sadar dan berkata: "Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah", (QS. 78: 40).
Setiap Muslim pasti meyakini adanya hari akhirat. Di akhirat disebut juga sebagai hari pembalasan. Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Ketika itulah akan ditentukan nasibnya. Ada yang untung dan ada yang rugi. Orang yang untung wajahnya berseri-seri. Sementara orang yang rugi wajahnya muram lagi gelap. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
"Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan bergembira ria, dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu (suram), dan ditutup lagi oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka." (QS. 'Abasa/ 80: 37-42)
Oleh sebab itu, selagi masih di dunia, selagi nyawa masih di kandung badan, selama itu pulalah manusia masih punya kesempatan. Kesempatan memperbaiki diri dan meluruskan haluan hidupnya. Sejatinya, haluan hidup setiap Mukmin adalah akhirat. Kalau begitu, mengapa dan untuk apa kita di dunia ini?
Manusia itu ada dua jenisnya. Manusia yang satu, terperdaya dengan dunia. Sedangkan manusia yang satu lagi, larut dalam spiritualitas. Sebenarnya, Al-Qur'an berpesan kepada kita supaya berada di tengah-tengah di antara kedua jalan itu. Sebab, hidup ini mesti berkeseimbangan. Meskipun orientasi hidup setiap Mukmin adalah akhirat, tetapi jangan lupakan bagiannya di dunia. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash/ 28: 77)
Dunia adalah ladang yang luas bagi manusia untuk berdagang. Berdagang bukan sekadar berdagang untuk memenuhi kebutuhan materi dalam hidup semata. Tapi, berdagang untuk kepentingan yang lebih besar dari itu. Perdagangan ini adalah perdagangan yang nggak akan pernah rugi, dunia dan akhirat. Adalah perdagangan dengan Allah SWT.
Orang berdagang tentu perlu modal. Nah, untuk berdagang dengan Allah SWT, maka ada tiga modal yang harus kita miliki.