Kisah ini dimulai dari sebuah desa kecil yang penuh kehangatan dan kebersamaan, tempat saya lahir dari keluarga petani yang gigih. Setiap pagi, aroma sawah yang menghampar dan suara adzan yang syahdu mengiringi hari-hari kami.
Kami adalah keluarga muslim yang hidup sederhana, sembilan bersaudara yang tumbuh dalam cinta dan kerja keras, menggantungkan hidup dari hasil sawah yang kami olah dengan penuh dedikasi dan harapan. Desa kami terletak di Kecamatan Mojowarno, Jombang, hanya sekitar 4 KM dari tempat makam Gus Dur, sosok ulama besar yang menjadi inspirasi banyak orang.
Hidup di desa berarti setiap hari adalah perjuangan, mulai dari mengusir burung di sawah, memanen padi, hingga mandi di sungai sambil menangkap ikan. Saya terlahir sebagai anak terakhir, bontot orang bilang.
Saya lahir pada masa awal Orde Baru mulai memerintah di negeri ini, ketika semua kebijakan baru digulirkan dengan cita-cita keadilan dan kemakmuran. Pemerintah sedang giat membangun, sementara rakyat masih hidup dalam kesederhanaan. Bagi yang berkecukupan, makan nasi putih adalah kemewahan, sementara sebagian lainnya masih mengandalkan nasi campuran, yaitu nasi yang dicampur dengan jagung agar lebih mengenyangkan.
Hidup keluarga kami tidak sepenuhnya bertumpu pada pertanian. Selain menggarap sawah, keluarga kami juga bertahan dengan menjadi pengrajin bambu. Kami membuat berbagai kerajinan, dari perabot rumah tangga hingga anyaman yang dijual di pasar. Sementara itu, salah satu kakak saya memiliki industri tahu di kampung kecil kami. Berkat usaha itu, ekonomi keluarga kami sedikit lebih baik dibandingkan beberapa tetangga kami.
33 Keponakan, Sumber Kebahagiaan (dan Keramaian Tak Terduga!)
Dari sembilan bersaudara ini, lahirlah 35 keponakan! Namun, hidup memang penuh takdir yang tak bisa dihindari. Dari jumlah itu, kini hanya 33 orang yang masih bersama kami, sementara 2 keponakan telah lebih dahulu berpulang. Kehidupan terus berjalan, meninggalkan kenangan dan pelajaran berharga bagi kami semua. Mereka adalah warna-warni kehidupan yang membawa cerita dan tawa dalam keluarga kami.
Setiap keponakan punya kisahnya sendiri, dari perjuangan sekolah hingga berumah tangga, dari merintis usaha hingga menjadi tulang punggung keluarga. Mereka adalah generasi penerus yang mengukir jejak kehidupan dengan caranya masing-masing. Kalau dalam pertandingan sepak bola, kami bisa membuat tiga tim penuh dengan cadangan. Kalau dalam acara keluarga, sudah seperti hajatan tiap kali berkumpul.
Keponakan-keponakan ini tumbuh di berbagai tempat, dengan berbagai karakter. Ada yang menjadi pengusaha, ada yang berprofesi sebagai guru, ada yang meneruskan jejak sebagai petani, dan ada juga yang berani merantau mencari kehidupan baru di kota besar. Ada pula yang masih mencari jati diri, mencoba berbagai hal sebelum menemukan jalannya. Mereka adalah warna-warni kehidupan yang masing-masing membawa kebanggaan tersendiri bagi keluarga.
Perusahaan Berkembang, Keponakan dan Cucu Turut Berkarir
Saya merantau ikut kakak saya ke Jakarta, dan alhamdulillah ekonomi saya membaik karena memilih menjadi pengusaha. Awal mula saya berbisnis di bidang penjualan perangkat wartel, dan akhirnya saya memiliki puluhan wartel. Dari situlah keponakan-keponakan saya yang memiliki semangat kuliah ikut saya, mereka kuliah sambil menjaga wartel yang tersebar di Jakarta, Semarang, dan Medan.