oleh : Abdul Wahid Azar, SH.,MH.
Wacana pengampunan bagi pelaku tindak pidana tertentu, termasuk koruptor, telah menjadi isu hangat di tengah masyarakat. Kebijakan ini mengundang diskusi mendalam tentang bagaimana negara harus menyeimbangkan kebutuhan untuk memulihkan kerugian negara dengan tuntutan akan keadilan.
Pengampunan bagi koruptor memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini dapat mendorong efisiensi dalam pemulihan kerugian negara, atau justru mengorbankan prinsip keadilan publik?
Perspektif Hukum, Dasar dan Ketentuan
Korupsi di Indonesia diatur sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang berdampak sistemik pada negara dan masyarakat. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengatur beberapa ketentuan penting:
Ketentuan Hukuman
Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara diancam dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Pasal 3 mengatur bahwa penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara dapat dikenai pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp50 juta hingga Rp1 miliar.
Pengembalian Uang Tidak Menghapus Tindak Pidana
Pasal 4 menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat meringankan hukuman, tetapi tidak menghapuskan tindak pidana yang telah dilakukan.
Pemberatan Hukuman