Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid Azar

Praktisi Bisnis

Mundurnya Gus Miftah, Merdeka dari Conflict of Interest

Diperbarui: 8 Desember 2024   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gus Miftah (Kompas Regional)

Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) pernah berkata pada ceramah di muat di youtube, dengan ringan namun penuh filosofi, "Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan pejabat, aku bukan kiai, aku mung koncomu." Sebuah ungkapan yang menyiratkan kebebasan untuk berpikir, bertindak, dan berbicara tanpa dibebani label atau formalitas jabatan. Kebebasan ini, yang mungkin tampak sederhana, adalah sebuah kemewahan di dunia pejabat publik yang selalu diawasi.

Mungkin inilah yang dirasakan Gus Miftah ketika memutuskan mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama. Sebagai seorang pendakwah yang dikenal dengan humor khas dan gaya santainya, Gus Miftah adalah sosok yang terbiasa memecah suasana dengan candaan ringan. Tapi ketika humor itu berbenturan dengan dunia formalitas pejabat publik, apa yang biasanya hanya membuat jamaah tertawa, malah menjadi isu nasional yang penuh kritik.

Merdeka dari Manajemen Amplop

Gus Miftah adalah pendakwah dengan pendekatan yang unik. Ceramahnya selalu diwarnai kelakar segar yang membuat jamaah merasa seperti ngobrol santai dengan sahabat lama. Bahkan, melibatkan pelawak seperti Cak Percil Cs di panggung dakwahnya adalah hal yang biasa, menciptakan suasana meriah tanpa kehilangan pesan moral. Tapi ketika Gus Miftah melangkah ke dunia pejabat publik, cerita ini berubah drastis.

Sebagai pejabat publik, setiap langkah beliau otomatis di bawah sorotan masyarakat. Bukan hanya soal apa yang disampaikan, tetapi juga apa yang diterima. Nah, di sinilah muncul dilema amplop---sebuah topik yang bisa bikin pusing bahkan untuk yang biasa misuh-misuh di atas mimbar.

Bayangkan skenario ini: Gus Miftah sedang ceramah di sebuah acara. Setelah selesai, panitia memberikan amplop sebagai tanda terima kasih. Tapi, sebagai utusan presiden, amplop itu bukan lagi sekadar honor pribadi. Netizen dan media langsung bereaksi: "Itu amplop ceramah atau gratifikasi?"

Bagi Gus Miftah, amplop itu mungkin cuma simbol penghargaan. Tapi bagi KPK? Bisa jadi bahan diskusi serius! Kalau ceramahnya dilakukan atas nama tugas negara, amplop itu harus dilaporkan sebagai bagian dari tugas publik. Tapi kalau ceramah itu dalam kapasitas pribadi, bagaimana cara memisahkan status beliau sebagai Gus yang pendakwah dari Gus yang pejabat?

"Dilema amplop" ini jadi perdebatan serius. Apakah harus dibuat dua amplop? Satu bertuliskan "untuk Gus Miftah pribadi" dan satu lagi bertuliskan "untuk Gus Miftah pejabat"? Atau panitia acara perlu menyiapkan dokumen resmi yang menjelaskan bahwa amplop ini halal dunia-akhirat?

Begitu di buka perbadingannya  eh. ..... "mburu uceng kelangan deleg" ? 

Merdeka dari Konflik Jabatan

Sebagai pejabat publik, Gus Miftah menghadapi ekspektasi besar. Setiap tindakan, ucapan, dan bahkan niatnya diukur dengan standar yang lebih tinggi. Ketika beliau memilih mundur, itu adalah bentuk kemerdekaan dari tekanan jabatan yang kerap membawa konflik kepentingan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline