Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid Azar

Praktisi Bisnis

Program Makan Bergizi Gratis Ambisi Besar, Penanggulangan Stunting Terabaikan

Diperbarui: 1 Desember 2024   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu ciri stunting adalah pertumbuhan terhambat (Foto Kompas.com)

Indonesia tampaknya telah mengalihkan perhatian dari krisis gizi paling mendesak yang dihadapinya. Ketika prevalensi stunting masih mencapai 21,6 persen pada 2023---jauh dari target pemerintah 14 persen---pemerintah justru meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis dengan anggaran spektakuler sebesar Rp71 triliun untuk tahun pertama.

Program ini, yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024, menyasar kelompok luas, mulai dari anak-anak usia PAUD hingga SMA, ibu hamil, hingga menyusui. Namun, alih-alih memperkuat upaya penurunan stunting, program ini justru menunjukkan ambisi besar yang salah arah.

Stunting adalah masalah gizi yang membutuhkan penanganan spesifik dan fokus pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), periode emas di mana intervensi gizi memiliki dampak paling signifikan.

Program Percepatan Penurunan Stunting, yang dijalankan berdasarkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 dengan mandat kepada BKKBN, menargetkan kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.

Pendekatan ini telah terbukti efektif di berbagai negara, seperti Thailand dan Vietnam, yang berhasil menurunkan angka stunting dengan fokus pada kelompok kritis ini.

Namun, di Indonesia, program ini berjalan dengan dana terbatas dan perhatian yang minimal, kalah bersaing dengan program besar yang lebih menarik perhatian publik.

Program Makan Bergizi Gratis adalah contoh nyata dari kebijakan populis yang lebih mengutamakan pencitraan daripada dampak nyata. Dengan cakupan sasaran yang luas, program ini menyasar anak-anak usia sekolah dari PAUD hingga SMA---sebagian besar kelompok yang sudah melewati masa kritis pencegahan stunting.

Dampaknya terhadap penurunan angka stunting jelas minim, karena anak-anak usia sekolah tidak termasuk dalam kategori rentan yang membutuhkan intervensi mendesak.

Selain itu, pendekatan universal ini mengabaikan daerah dengan prevalensi stunting tinggi, seperti NTT dan Papua, yang seharusnya mendapatkan prioritas dalam distribusi makanan bergizi.

Ketidaksinambungan ini semakin diperburuk oleh kurangnya sinergi antara kedua program. BKKBN, dengan data dan pemetaan wilayah yang komprehensif, seharusnya menjadi mitra utama Badan Gizi Nasional dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis.

Namun, kedua lembaga ini berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang jelas. Akibatnya, alokasi sumber daya menjadi terfragmentasi, dan kelompok rentan yang paling membutuhkan justru terabaikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline